Selasa, 07 Juni 2011

Nasakh dan Mansukh

AS-SUNNAH - USHUL FIQIH



Secara global, kronologis pertumbuhan dan perkembangan Tasyri’ Islam melalui enam tahap:

Tahap pertama, yaitu tahap pertumbuhan pertama kali ketika Islam dibawa dan diperkenalkan oleh Rasulullah SAW. Tahap ini berakhir hingga wafatnya Rasulullah SAW.

Tahap kedua, yaitu tahap pada kehidupan sahabat-sahabat besar. Tahap ini berakhir dengan berakhirnya masa kekhalifahan empat khulafaur rasyidin.

Tahap ketiga, yaitu tahap sahabat-sahabat kecil dan tabi’in-tabi’in besar. Tahap ini berakhir dengan wafatnya sahabat yang terakhir, yaitu Ibnu Thufail (pada tahun 101 setelah hijrahnya Rasulullah).

Tahap keempat, yaitu tahap ketika Ilmu Fiqh menjadi sebuah disiplin ilmu yang mandiri sebagaimana juga ilmu-ilmu yang lainnya.

Tahap kelima, adalah tahap ketika perkembangan Ilmu Fiqh itu mencapai puncak keemasannya. Tahap ini berakhir dengan berakhirnya kekhalifahan Abbasiyah dan masuknya tentara Mongol membumihanguskan kerajaan-kerajaan Islam.

Tahap keenam, adalah masa ketika Ilmu Fiqh mengalami keredupan (kejumudan) sampai hari ini.

Kajian kita kali ini masih berada pada sekitar tahap pertama. Secara umum, kajian kali ini terkait tentang sumber hukum Islam yang dijadikan pegangan orang-orang muslim ketika itu. Sumber hukum Islam yang dijadikan pegangan oleh orang-orang Islam di waktu itu, baik oleh Rasulullah maupun sahabat-sahabatnya, maka yang pertama dari sumber hukum Islam itu adalah Al-Qur’an.

Al-Qur’an adalah landasan utama bagi Agama Islam, yang di dalamnya terdapat aturan-aturan Allah yang wajib untuk kita pegangi. Ada banyak ayat-ayat yang menyampaikan persoalan ini, begitu juga sabda Rasulullah.

Firman Allah pada Surat Al-Imran ayat 103:

Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, dan janganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan ni`mat Allah kepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh musuhan, maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu karena ni`mat Allah orang-orang yang bersaudara; dan kamu telah berada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu, agar kamu mendapat petunjuk. (Q.S. Ali Imraan: 103)

Ayat ini secara tegas menyebutkan bahwa kita diperintahkan untuk berpegang teguh kepada ketentuan-ketentuan Allah, dan kita jangan bercerai-berai dalam menyikapi ketentuan Allah itu.

Sabda Rasulullah:

Aku tinggalkan kepada kalian dua persoalan yang kalau kalian memegang dua hal ini, maka jaminan kalian tidak akan pernah tersesat, yaitu Kitabullah (Al-Qur’an) dan Sunnahku (petunjuk-petunjuk dariku).

Dua dalil di atas kiranya sudah lebih dari cukup untuk menunjukkan, bahwa Al-Qur’an merupakan sesuatu yang tidak boleh tidak harus menjadi falsafah hidup dan pegangan kita dalam meniti kehidupan di dunia ini.

Persoalannya, apakah di dalam Al-Qur’an itu semuanya layak dipegangi? Atau ternyata ada beberapa bagian di dalam Al-Qur’an yang ternyata oleh Allah dinyatakan tidak berlaku? Karena itulah kita perlu untuk mengetahui lebih dalam lagi, sehingga kita bisa lebih mengenali Al-Qur’an.

Berkaitan dengan hal tersebut, kajian-kajian seperti ini menjadi sesuatu yang sangat penting untuk kita lakukan, sehingga walaupun semangat kita untuk selalu memegangi Al-Qur’an tersebut adalah suatu keharusan, tetapi kita tidak terjebak oleh keadaan di mana kita memegangi sebuah kondisi atau ketentuan yang sudah disampaikan oleh Allah bahwa ketentuan tersebut sudah kadaluwarsa dan tidak bisa lagi dijadikan pegangan.

Di dalam bahasa Fiqh hal ini disebut sebagai ayat-ayat yang mansukhah, yaitu ayat-ayat yang dianulir. Oleh karena itulah, kita perlu menyibak pengertian nasakh dan mansukh tersebut.



Nasakh dan Mansukh

Secara umum dari sisi etimologi, bahwa nasakh berarti mengangkat atau menghilangkan, di samping juga ada pengertian nasakh yang berarti menyalin (nasakh tu kitab = saya menyalin kitab). Tapi secara umum, terutama berkaitan dengan permasalahan ini, nasakh berarti mengubah, mengangkat, atau mengganti ketentuan yang ada.

Sehingga, nasakh di dalam persepsi kajian Ilmu Fiqh adalah mengganti hukum-hukum yang sudah ada dengan hukum baru yang datang setelah itu. Karena itu, untuk mengetahui nasakh dan mansukh ini, maka harus diketahui mana ayat-ayat yang dianulir dan mana ayat-ayat yang ditetapkan untuk menggantikan posisi ayat yang pertama.

Dalam hal ini, persyaratan yang menggantikan itu harus yang datang kemudian. Karena itulah, juga harus diketahui kapan ayat tersebut turun.

Pada prinsipnya, nyaris menjadi suatu kesepakatan seluruh Umat Islam sejak zaman Rasulullah hingga kini, bahwa di dalam Al-Qur’an terdapat ayat-ayat yang sudah kadaluwarsa (mansukh).

Dalam hal ini, kecuali satu orang yang tidak menyetujui, yaitu Abu Muslim Al-Isfahani. Beliau ini menentang habis-habisan terjadinya nasakh dan mansukh di dalam ayat-ayat Al-Qur’an. Menurutnya, kalau ada suatu ayat, kemudian ayat tersebut dinyatakan kadaluwarsa, berarti ada hukum Allah yang memang tidak layak pakai. Dan Allah sangat mustahil menentukan sebuah ketentuan yang tidak layak pakai.

Seberapapun hujjah dalil yang disampaikan Abu Muslim Al-Isfahani, tetapi realita menjelaskan kepada kita, bahwa banyak ayat-ayat yang masa berlakunya sudah tidak lagi ditetapkan sebagai hukum Islam sejak Rasulullah masih ada.

Nasakh dan mansukh ini bukanlah persoalan logika, bukan hasil dari pemikiran manusia, bukan pula hasil pemikiran sahabat, bahkan juga bukan hasil pemikiran Rasulullah, tetapi memang Allah lah yang menyampaikan bahwa suatu ayat tersebut hanya sampai ketika itulah berlakunya, kemudian diganti dengan ayat yang lain.

Persoalannya adalah, apakah gunanya nasakh dan mansukh ini? Apakah Allah itu sama dengan manusia, yang Dia tidak mengerti bahwa sekarang ini kondisinya begini, nantinya ketika kondisi tersebut berbeda, maka peraturan tersebut akan diganti?

Padahal semua yang terjadi ini, bahkan sebelum alam ini terjadi, Allah sudah menentukan, bahwa nanti akan begini, dan nantinya lagi akan begini. Lantas mengapa Allah menentukan, seolah-olah Allah tidak mengetahui akan terjadi perubahan nantinya? Hal ini tentunya persoalan yang layak untuk kita cari jawabannya.



Hikmah terjadinya Nasakh dan Mansukh

Pada prinsipnya, hikmah atau manfaat dari terjadinya nasakh dan mansukh adalah justru semakin mengukuhkan kebesaran Allah dalam banyak hal, yaitu:

Yang pertama, mengukuhkan keberadaan Allah, bahwa Allah takkan pernah terikat dengan ketentuan-ketentuan yang sesuai dengan logika manusia. Sehingga jalan pikiran manusia takkan pernah bisa mengikat Allah SWT. Allah mampu melakukan apa saja, sekalipun menurut manusia hal tersebut tidak logis. Tetapi Allah akan menunjukkan, bahwa kehendak-Nya lah yang akan terjadi, bukan kehendak kita. Sehingga diharapkan dari keberadaan nasakh dan mansukh ini akan mampu meningkatkan keimanan kita kepada Allah SWT, bahwa Dia-lah yang Maha Menentukan.

Yang kedua, dengan nasakh dan mansukh ini diharapkan pula kita akan mempunyai prediksi dan pengertian bahwa Allah itu memang adalah zat yang Maha Bijak, Maha Kasih, Maha Sayang, bahkan “arhamurrahimin“, yaitu lebih kasih daripada yang berhati kasih dan lebih sayang daripada siapa saja yang berhati sayang. Mengapa? Karena memang pada kenyataannya hukum-hukum nasakh dan mansukh tersebut semuanya demi untuk kemaslahatan dan kebaikan kita.

Dua poin ini layak untuk kita potret, kemudian kita tancapkan sedalam-dalamnya pada akidah kita. Sementara itu, untuk lebih memperkuat keimanan kita, juga terdapat hikmah lain dari keberadaan nasakh dan mansukh ini. Bahwasanya wajar bahwa sesuatu yang “makhluk” itu adalah “al-hadits“, yang itu berbeda dari “al-khaliq” yang adalah “al-qadim“.

Sebab persepsi yang diajarkan kepada kita, bahwa Al-Khaliq yang sifatnya qadim artinya tidak akan pernah mengalami perubahan. Al-Qidam (Dia yang tak pernah ada awalnya), wal-abad (dan dia takkan pernah berakhir, takkan pernah terjadi perubahan), yang hal ini mulai dari dulu hingga sampai kapanpun tanpa diketahui awal dan akhirnya, itulah Allah. Berbeda dengan kita, yang asalnya tidak ada, kemudian ada, dan kemudian tidak ada lagi, yang ini semuanya melalui proses.

Di sinilah letak luar biasanya Allah dalam menentukan hukum ini, yaitu disesuaikan dengan kondisi manusia yang menjadi obyek hukum itu sendiri.

Ketika seseorang berusia remaja, maka tentunya hukum yang diberlakukan kepadanya berbeda dengan ketika dia masih anak-anak. Untuk itulah, Allah menyesuaikan dengan hal tersebut. Hal ini bukan berarti Allah tidak mampu. Karena jika Allah menginginkan untuk menciptakan sesuatu maka Dia tidak akan repot-repot. Di dalam banyak ayat disebutkan, misalkan di ujung Surat Yasin:

Sesungguhnya perintah-Nya apabila Dia menghendaki sesuatu hanyalah berkata kepadanya: “Jadilah!” maka terjadilah ia. (Q.S. Yaasin: 82)

Jangankan hitungan hari, jam, menit, ataupun detik, Allah tak memerlukan semua hitungan itu. Langsung Dia berkata maka akan langsung terjadilah apa yang diinginkan-Nya itu.

Tetapi realita memberitahukan, bahwa Allah menciptakan bumi dan planet-planet ini melalui proses. Ada yang dikatakan enam hari, ada yang lebih dari itu. Hal ini berarti, bahwa Allah ingin menunjukkan kepada manusia, bahwasanya sesuatu itu harus berproses, walaupun Allah mampu melakukan tanpa melalui proses tersebut. Dalam hal ini, termasuk juga ketika Allah menciptakan suatu hukum yang termaktub di dalam Al-Qur’an.

Patut diingat, bahwa hukum yang membumi kepada manusia (hukum yang merakyat) adalah hukum yang komunikatif dengan rakyat yang diatur oleh hukum tersebut. Sedangkan hukum yang tidak merakyat, maka dapat dipastikan bahwa hukum tersebut tak akan pernah terealisasi dengan baik.

Hukum yang baik adalah hukum yang secara kondisional menyesuaikan dan sesuai dengan kondisi yang diterapi hukum tersebut. Allah dalam hal ini mencontohkan hal-hal seperti berikut, bahwa perbedaan-perbedaan waktu yang pasti akan terjadi di dalam kehidupan ini.

Kondisi di zaman sekarang tidak pernah sama dengan kondisi di zaman Rasulullah, sehingga memerlukan hal-hal yang baru. Inilah hikmah dari adanya perubahan-perubahan hukum sesuai dengan perubahan kondisi dan perubahan waktu. Karena itulah, nasakh dan mansukh merupakan bagian dari kebijakan Allah SWT yang layak untuk kita syukuri.



Kategori Nasakh

Secara umum, nasakh di dalam Al-Qur’an ada tiga kategori.

Pertama, yaitu nasakh di mana ayatnya diubah dan hukumnya juga diubah. Maksudnya, secara tekstual ayat tersebut diganti, dan hukumnya juga diganti.

Kedua, ayatnya diganti, tetapi hukumnya masih tetap berlaku.

Ketiga, ayatnya masih ada di dalam Al-Qur’an, tetapi hukumnya kemudian dinyatakan sudah kadaluwarsa. Jenis ketiga ini yang paling banyak di dalam Al-Qur’an.

Contoh untuk kategori pertama (nasakh dalam sisi tekstual/ayatnya, sedangkan hukumnya masih berlaku), yaitu:

Menurut suatu hadits yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dan Muslim, bahwa ada satu ayat di Surah Al-Ahzab yang menyatakan, jika ada orang berzina, sedangkan orang tersebut sudah atau pernah menikah, maka orang tersebut harus dirajam.

Ayat ini kemudian diangkat oleh Allah dan dihapus keberadaannya, sehingga tekstualnya menjadi tidak ada tapi hukumnya masih tetap berlaku. Mengapa bisa demikian? Karena diganti oleh ayat lain pada Surat An-Nuur ayat 2, yaitu:

Perempuan yang berzina dan laki-laki yang berzina, maka deralah tiap-tiap seorang dari keduanya seratus kali dera, dan janganlah belas kasihan kepada keduanya mencegah kamu untuk (menjalankan) agama Allah, jika kamu beriman kepada Allah, dan hari akhirat, dan hendaklah (pelaksanaan) hukuman mereka disaksikan oleh sekumpulan dari orang-orang yang beriman. (Q.S. An-Nuur: 2)

Maksud ayat ini (An-Nuur: 2) adalah, bahwa jika ada yang berzina, maka hukumannya adalah dicambuk sebanyak 100 kali. Ini di antara hukum-hukum yang realitas terjadi, sehingga terlalu sulit untuk mengingkari adanya nasakh dan mansukh di dalam ayat tersebut. Ayatnya sudah tidak ada, tetapi hukumnya masih tetap diberlakukan oleh Rasulullah, bahkan hingga akhir zaman nanti.

Untuk kategori kedua, yaitu yang lafaz dan hukumnya dua-duanya dicabut. Contohnya adalah sebagai berikut:

Sayyidatuna Aisyah menyatakan, bahwa Rasulullah pernah mendiktekan ayat Al-Qur’an kepada mereka ketika itu, bahwa orang yang menyusui dan disusui akan mempunyai hubungan nasab sebagaimana ibu dan anak kandung minimal sepuluh kali. Tetapi ternyata ayat ini dicabut oleh Allah, termasuk juga hukumnya. Sebagai gantinya, sekali saja menyusui sepanjang itu sudah mengenyangkan, maka sudah dianggap memiliki hubungan nasab. Yang jelas hukum yang sepuluh kali itu dicabut.

Untuk kategori ketiga, yaitu hukumnya dinasakh sedangkan lafaznya tetap ada. Dan ini yang paling banyak terjadi di dalam ayat-ayat yang dinasakh itu. Contohnya adalah Al-Baqarah ayat 180:

Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak, berwasiat untuk ibu-bapa dan karib kerabatnya secara ma`ruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa. (Q.S. Al-Baqarah: 180)

Ayat ini menyatakan, bahwa ketika mendekati kematian, maka kita harus membuat wasiat. Ternyata kemudian ayat ini dianulir oleh Allah, kemudian hukumnya diganti sebagaimana pada An-Nisaa ayat 11-12 disebutkan:

Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bahagian dua orang anak perempuan; dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separo harta. Dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfa`atnya bagimu. Ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana. (Q.S. An-Nisaa: 11)

Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika isteri-isterimu itu mempunyai anak, maka kamu mendapat seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para isteri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka para isteri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau (dan) sesudah dibayar hutang-hutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai) syari`at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun. (Q.S. An-Nisaa: 12)

An-Nisaa ayat 11-12 berbicara tentang pembagian warisan, tidak ada lagi kewajiban untuk berwasiat. Ketika meninggalkan dunia ini, maka harta-harta tesebut harus dibagi sesuai dengan ketentuan ayat 11-12 Surat An-Nisaa ini.



Sumber thenafi.wordpress.com

Disarikan dari Pengajian Tarikh Tasyri

Disampaikan oleh: Dr. H.M. Masyhoeri M. Naim, M.A. | Transkriptor: Hanafi Mohan

0 komentar: