Jumat, 18 Februari 2011

Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif

PAHAM MAHDI SYI'AH (1/8)
oleh Drs. Muslih Fathoni, M.A.

A. PENGERTIAN AL-MAHDI SYI'AH DAN AHMADIYAH

Pemakaian istilah al-Mahdi yang dimaksud dalam kajian ini,
bermula dari sekte Syi'ah Kaisaniyyah yang banyak
terpengaruh dan menyerap pikiran Ibn Saba'.1 Kata al-Mahdi
adalah ism maf'ul dari [kata-kata Arab] seperti: [kata-kata
Arab].

Kata ini bisa berarti, Allah telah memberitahukan,
menunjukkan atau menjelaskan jalan kepadanya. Dengan
demikian, orang yang telah mendapat petunjuk itu disebut
al-Mahdi. Dalam hubungan ini ada pula yang berpendapat bahwa
sigat kata al-Mahdi itu adalah maf'ul (dalam bentuk mabni
lil-majhul dari [kata-kata Arab] dan kata al-Mahdi berarti
orang yang diberi petunjuk Allah. Hanya saja kata tersebut,
dalam bentuknya seperti itu, bermakna fa'il, yakni orang
yang terpilih untuk memberi petunjuk kepada manusia. Memang
sigat [kata-kata Arab] tidak terdapat dalam al-Quran, yang
ada adalah sigat al-fa'il, sebagaimana dalam firman Allah:

Dan sesungguhnya Allah adalah Pemberi petunjuk bagi
orang-orang beriman ke jalan yang lurus. (S. al-Hajj: 54)

Juga dalam firman-Nya:

... Dan cukuplah Tuhanmu menjadi Pemberi petunjuk dan
Penolong. (S. al-Furqan: 31).

Ayat-ayat tersebut tidak ada hubungannya sama sekali dengan
masalah al-Mahdi al-Muntazar. Akan tetapi, sementara ummat
Islam, ayat-ayat di atas dijadikan sebagai dasar tema
pembahasan tentang al-Mahdi yang mereka tunggu-tunggu serta
menghubungkannya dengan hadis-hadis Mahdiyyah.2

Dalam hubungan ini, Ahmad Amin menjelaskan, bahwa dalam
al-Quran hanya ada kata [kata-kata Arab] dan kata [kata-kata
Arab] sedangkan kata yang terdapat dalam sebagian
kitab-kitab hadis adalah untuk menyipati pribadi 'Ali ibn
Abi Talib. Seperti sabda Nabi yang dikutip dari kitab
Usdul-Gabah:

" ... Dan jika kalian mengangkat 'Ali sebagai pemimpin,
namun aku melihat kalian tidak melakukan itu, kalian akan
mendapatinya sebagai seorang pemberi petunjuk yang membawa
kalian ke jalan yang lurus."

Kemudian pengertian bahasa agama ini berubah menjadi
pengertian baru yaitu akan munculnya seorang imam yang
ditunggu-tunggu, yang akan memenuhi bumi ini penuh dengan
keadilan sebagaimana bumi telah dipenuhi oleh kecurangan.
Selanjutnya ia berpendapat bahwa kelompok yang pertama-tama
menggunakan pengertian yang terakhir ini adalah Syi'ah
Kaisaniyyah.3 Selanjutnya perlu ditambahkan disini bahwa
kata al-Mahdi secara harfiah berarti orang yang telah diberi
petunjuk atau the guided one. Karena semua petunjuk itu
berasal dari Tuhan, maka arti kata tersebut menjadi "seorang
yang telah diberi petunjuk Tuhan" atau the divinely-guided
one, dengan cara yang menakjubkan dan sangat pribadi. Dengan
demikian, orang yang disebut Mahdi atau al-Mahdi,
benar-benar telah mendapat bimbingan Allah. Di masa lalu,
nama ini pun dipakai oleh pribadi-pribadi tertentu, dan
dimasa-masa selanjutnya nama Mahdi dipakai orang secara
eskatologis.4 Adapun menurut istilah, al-Mahdi adalah tokoh
laki-laki dari keturunan Ahlul-Bait yang akan muncul di
akhir zaman. Dia akan menegakkan agama dan keadilan dan
diikuti oleh ummat Muslim, akan membantu 'Isa al-Masih yang
turun ke dunia untuk membunuh dajjal, dan akan menjadi imam
sewaktu salat bersama-sama Nabi Isa a.s. Demikianlah
pengertian al-Mahdi yang dikenal secara umum di kalangan
ummat Islam.

Akan tetapi pengertian al-Mahdi menurut paham Syi'ah ialah
seorang imam (Syi'ah) yang ditunggu-tunggu. Ia akan datang
memenuhi bumi dengan keadilan karena bumi ini telah dipenuhi
oleh kecurangan. Ini berbeda dengan paham Ahmadiyah. Menurut
aliran ini al-Mahdi ialah seorang (Mirza Ghulam Ahmad) yang
merupakan penjelmaan atau pengejawantahan dari al-Mahdi dan
al-Masih a.s., dan diangkat oleh Tuhan sebagai mujaddid atau
pembaharu di abad XIV H. Ini menurut paham Ahmadiyah Lahore.
Sedangkan menurut paham Ahmadiyah Qadian, Mirza Ghulam Ahmad
disamping sebagai al-Mahdi juga adalah nabi.

Uraian diatas menunjukkan bahwa kepercayaan kaum Ahmadiyah
terhadap al-Mahdi ini bermula dari pengakuan Mirza Ghulam
Ahmad itu sendiri, sesudah ia menyelidiki sebuah makam yang
ditemukannya di Srinagar, Punjab, India. Menurut
penyelidikan mereka, makam tersebut adalah makam Yus Asaf
yang diyakini sebagai Isa al-Masih, sesudah pengembaraannya
yang panjang dari Palestina ke Kashmir, India. Dan sesudah
penemuan makam tersebut, barulah dicari hadis-hadis
Mahdiyyah yang relevan sebagai dasar keyakinan aliran ini.
Paham kemahdian Ahmadiyah diatas, berbeda dengan paham
kemahdian Syi'ah yang timbul dari 'Aqidah ar-Raj'ah dan
masalah al-Gaibah. Oleh karena kaum Syi'ah tidak mau
mengakui kematian imam-imam mereka, dan karena pengaruh
ajaran ibn Saba', maka berkembanglah pemikiran di kalangan
mereka tentang imam yang bersembunyi (gaib). Dalam kaitan
ini, Ahmad Amin menjelaskan bahwasanya masalah ar-Raj'ah itu
bermula dari ucapan Ibn Saba', yang menyatakan bahwa
Muhammad SAW akan kembali lagi ke dunia, adalah
mengherankan, orang yang percaya akan kembalinya Isa a.s.,
tetapi ia mendustakan kembalinya Muhammad.5

Dalam salah satu pernyataannya yang lain, ia tidak mengakui
kematian 'Ali, bahwa yang terbunuh itu bukan 'Ali tetapi,
setan yang menjelma sebagai 'Ali, dia naik ke langit
sebagaimana Isa ibn Maryam. Imam yang bersembunyi tersebut
akan muncul lagi ke dunia untuk menegakkan keadilan. Dengan
demikian, akhirnya, muncul pula pemikiran tentang al-Mahdi,
dan kemudian dibuatlah hadis-hadis Mahdiyyah.

Adapun arti kata Syi'ah, ialah sahabat, penolong, pengikut,
atau berarti golongan. Seperti firman Allah:

... Dan benar-benar Ibrahim adalah termasuk golongannya...
(S. as-Saffat: 83).

Secara istilahi, al-Mahdi Lidinillah Ahmad menjelaskan:

Syi'ah adalah golongan yang membantu 'Ali dalam menumpas
pemberontakan yang dimotori oleh Talhah, Zubair,
bersama-sama A'isyah, serta pemberontakan Mu'awiyah dan kaum
Khawarij. Para pendukung 'Ali tersebut, sebagian besar
mengakui kekhilafahan Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman sampai
terjadinya penyimpangan yang menimbulkan huru-hara. Sebagian
lagi, mereka yang mengakui 'Usman sebagai pemimpin mereka.
Dan golongan yang paling sedikit jumlahnya ialah mereka yang
mengunggulkan 'Ali sebagai khalifah sesudah Rasul wafat,
daripada tokoh sahabat lainnya.6

Istilah Syi'ah sebagai yang dikembangkan oleh al-Mahdi
Lidinillah di atas, mencakup seluruh corak ke-Syi'ah-an pada
umumnya, dan tampaknya istilah tersebut lebih cocok untuk
golongan Syi'ah Zaidiyyah saja. Dalam hubungan ini, istilah
Syi 'ah sebagai yang dikemukakan oleh Dr. Ahmad Amin dalam
Duhal-Islam III, tampak lebih luas. Syi'ah menurut
pendapatnya adalah golongan yang berkeyakinan bahwa 'Ali dan
keturunannya adalah orang yang paling berhak menjabat
khalifah daripada Abu Bakr, 'Umar, dan 'Usman. Dan
bahwasanya Nabi telah menjanjikan kekhilafahan sesudahnya
kepada 'Ali, dan setiap imam menjanjikan kekhilafahan
tersebut kepada penerusnya.

Selanjutnya tentang arti kata 'Ahmadiyah' berasal dari kata
'Ahmad.' Kata ini berbentuk ism'alam yang searti dengan kata
'mahmud,' artinya orang yang terpuji. Namun menurut Mirza
Ghulam Ahmad, bahwa kata 'Muhammad' artinya, berkaitan
dengan sifat jalal atau kebesaran, karena itu, Rasulullah
dalam menghadapi musuh-musuhnya dengan cara berperang.
Sedang kata 'Ahmad' lebih berkonotasi dengan sifat jamal
atau keindahan. Maksudnya bahwa Nabi saw. itu menyebarkan
kedamaian dan keharmonisan di dunia (tidak menempuh jalan
kekerasan), sifat ini menurut pendapatnya, lebih
dimanifestasikan sewaktu Nabi tinggal di Madinah.7

Apabila kata "Ahmad" ditambah dengan "ya" nisbah, maka
jadilah kata [kata-kata Arab]. Kata inilah yang oleh Mirza
dijadikan sebagai nama aliran yang didirikannya di akhir
abad ke-19. Aliran baru ini mengajarkan bahwa Mirza Ghulam
Ahmad adalah al-Mahdi, al-Masih, Mujaddid, dan sebagai Nabi.
Nama Ahmadiyah dipakai secara resmi sebagai nama aliran
tersebut, sejak 4 November 1900, sewaktu pendirinya
membayangkan bahwa pengikutnya akan menjadi sekte baru dalam
Islam. Nama 'Ahmadiyah' sebenarnya diambil dari salah satu
nama Rasulullah, bukan diambil dari nama pendiri aliran
tersebut.


B. SEJARAH LAHIRNYA SYI'AH

1. LATAR BELAKANG SEJARAHNYA

Masalah khalifah sesudah Rasul wafat, merupakan fokus
perselisihan diantara tiga golongan besar, yaƵtu: Golongan
Ansar, Muhajirin, dan Bani Hasyim. Selain itu, sebenarnya
masih ada kelompok terselubung yang cukup potensial dalam
mewujudkan ambisinya sebagai penguasan tunggal, ialah
golongan Bani Umayyah. Sikap golongan terakhir ini,
tercermin pada sikap tokoh utamanya yaitu Abu Sufyan yang
enggan membai'at Khalifah Abu Bakr, sekembalinya dari
Saqifah menuju masjid Nabawi bersama-sama dengan ummat Islam
lain, sebagai yang dilakukan oleh kaum Bani Hasyim.

Prakarsa pemilihan khalifah di Saqifah yang dimotori oleh
Sa'ad ibn 'Ubbadah adalah benar-benar menggugah kembali
bangkitnya semangat fanatisme golongan dan permusuhan antar
suku yang pernah terjadi sebelum Islam. Kiranya dapat
dipahami bahwa pemilihan khalifah tersebut, tanpa
keikutsertaan 'Ali sebagai wakil Bani Hasyim, tampaknya
membawa kekecewaan mereka yang menginginkan hak legitimasi
kekhilafahan di tangan 'Ali, yang saat itu sedang mengurus
jenazah Nabi. Mereka beralasan bahwa 'Ali adalah lebih
berhak dan lebih utama menggantikannya, karena dia adalah
menantunya, dan selain itu ia juga seorang yang mula-mula
masuk Islam sesudah Khadijah, istri Rasulullah. Selanjutnya
tak seorang pun yang mengingkari perjuangan, keutamaan, dan
ilmu pengetahuan yang dimilikinya. Diantara mereka yang
berpendapat demikian adalah salah seorang dari golongan
Ansar yaitu Munzir ibn Arqam, ia menyatakan dalam suatu
pertemuan di Saqifah: " ... Kami tidak menolak keutamaan
orang-orang yang kalian sebutkan (AbuBakr, Umar, dan'Ali),
sebenarnya ada diantara mereka itu, seorang yang seandainya
ia menuntut (kekhilafahan), tak seorang pun yang akan
menentangnya ('Ali ibn Abi Talib) ...8

Peristiwa pembai'atan Abu Bakr pada tahun 12 H (634 M),
tanpa sepengetahuan 'Ali, tampaknya melahirkan berbagai
pendapat yang kontroversial tentang siapa diantara
tokoh-tokoh sahabat itu yang lebih berhak menduduki jabatan
khalifah. Selain itu, juga merupakan awal terbentuknya
pemikiran golongan ketiga yakni Bani Hasyim, disamping
golongan Muhajirin dan Ansar. Oleh karenanya tidak
mengherankan jika saat itu ada orang yang ingin membai'at
'Ali ibn Abl Talib. Keinginan tersebut secara tegas ditolak
'Ali dan sebagai akibatnya, para pendukung 'Ali
menunda-nunda pembai'atan mereka pada Khalifah Abu Bakr.

Memang benar, bahwa sesudah 'Ali membai'at Khalifah pertama
ini, isu politik tentang hak legitimasi Ahlul-Bait, sebagai
pewaris kekhilafahan sesudah Nabi, berangsur-angsur mereda
sampai berakhirnya masa pemerintahan Khalifah 'Umar ibn
Khattab. Peredaan isu politik ini, mungkin sekali disebabkan
oleh keberhasilan kedua khalifah tersebut dalam
mempersatukan potensi ummat Islam untuk menghadapi
musuh-musuh baru yang bermunculan saat itu.

Munculnya Bani Umayyah dalam pemerintahan 'Usman, sebagai
kekuatan politik baru, telah mengundang reaksi keras ummat
Islam, terhadap kebijaksanaan Khalifah, terutama sesudah
enam tahun yang terakhir pemerintahannya. Kelemahan Khalifah
ketiga ini terletak pada ketidakmampuannya membendung ambisi
kaum kerabatnya yang dikenal sebagai kaum aristokrat Mekkah
yang selama 20 tahun memusuhi Nabi. Sebagai akibatnya, isu
politik tentang hak legitimasi Ahlul-Bait memanas kembali.

Sebagaimana diketahui dalam sejarah, tindakan politik
Khalifah yang memberhentikan para gubernur yang diangkat
oleh Khalifah 'Umar, dan mengangkat gubernur-gubernur baru
dari keluarga 'Usman sendiri, rupanya membawa kekecewaan dan
keresahan ummat secara luas. Seperti: Pengangkatan Marwan
ibn Hisyam sebagai sekretaris Khalifah, Mu'awiyah sebagai
Gubernur Syria,'Abdullah ibn Sa'ad ibn Surrah sebagai wali
di Mesir, dan ia masih saudara seibu dengan Khalifah, dan
Walid sebagai Gubernur Kufah. Mereka dikenal sebagai
penguasa yang lebih berorientasi pada kepentingan pribadi
dan kelompoknya, daripada berorientasi pada kepentingan dan
aspirasi rakyat. Sikap politik seperti ini tampaknya
merupakan faktor penyebab timbulnya protes-protes sosial
yang keras yang sangat kurang menguntungkan pada
pemerintahannya sendiri.

Setelah 'Usman wafat, 'Ali adalah calon utama untuk
menduduki jabatan khalifah. Pembai'atan khalifah kali ini,
segera mendapat tantangan dari dua orang tokoh sahabat yang
berambisi menduduki jabatan penting tersebut. Kedua tokoh
itu adalah Talhah dan Zubair yang mendapat dukungan dari
'A'isyah, untuk mengadakan aksi militer yang dikenal dengan
perang Jamal. Akhirnya kedua tokoh tersebut terbunuh,
sedangkan 'A'isyah, oleh Khalifah 'Ali dikembalikan ke
Madinah.

Aksi militer tersebut, tampaknya sebagai akibat kegagalan
kedua tokoh itu dalam memenuhi ambisinya. Disamping itu,
keduanya merasa dipaksa oleh sekelompok orang dari Kufah dan
Basrah untuk membai'at 'Ali, dibawah ancaman pedang
terhunus. Alasan terakhir ini rupanya dijadikan alasan baru
untuk menuntut Khalifah, mereka berjanji akan taat dan
patuh, jika Khalifah menghukum semua orang yang terlibat
dalam peristiwa pembunuhan Usman ibn 'Affan. Tuntutan
tersebut senada dengan tuntutan Mu'awiyah, yaitu agar
Khalifah 'Ali mengadili Muhammad ibn Abu Bakr, anak
angkatnya, yang mereka pandang sebagai biang keladi
peristiwa terbunuhnya 'Usman. Dengan demikian, Khalifah 'Ali
dihadapkan pada posisi yang cukup sulit di awal
pemerintahannya.

Tampaknya tuntutan Talhah dan Zubair tersebut,
dipolitisasikan oleh Muawiyah untuk memojokkan 'Ali, yang
dipandang sebagai saingan utamanya. Untuk membangkitkan
semangat antipati dan permusuhan terhadap Khalifah 'Ali,
Mu'awiyah menggantungkan baju 'Usman yang berlumuran darah
beserta potongan jari istrinya, yang dibawa lari dari
Madinah ke Syria oleh Nu'man ibn Basyar.9 Posisi 'Ali yang
sulit ini, ditambah lagi dengan tindakan pemecatannya
terhadap Gubernur Damaskus, Mu'awiyah ibn Abi Sufyan, adalah
sebagai faktor yang mempercepat berkobamya perang Siffin.
Perang ini mengakibatkan munculnya golongan Khawarij, musuh
'Ali yang paling ekstrem, sesudah terjadinya upaya
perdamaian dari pihak Mu'awiyah dengan ber-tahkim pada
al-Qur-an, setelah pasukannya terdesak oleh pasukan 'Ali
dibawah panglima Malik al-Astar. Siasat licik Mu'awiyah yang
dimotori oleh 'Amr ibn 'As ini, sebenarnya telah diketahui
oleh 'Ali. Sayang sekali usaha menghadapi siasat licik ini
terhalang oleh sebagian besar pasukannya sendiri yang
memaksanya menerima tawaran damai tersebut. Akhirnya, kedua
belah pihak sepakat untuk berdamai, dan masing-masing harus
diwakili oleh seorang juru runding. Pihak Mu'awiyah diwakili
oleh 'Amr ibn 'As, sedangkan pihak 'Ali diwakili Abu Musa
al-Asy'ari.

Kekalahan diplomasi pihak 'Ali di Daumatul-Jandal,
sebagaimana dalam penuturan sejarah, adalah disebabkan oleh
sikap Abu Musa yang amat sederhana dan mudah percaya kepada
siasat 'Amr. Bahkan menurut pendapat Syed Amir 'Ali, Abu-
Musa ini secara diam-diam memusuhi 'Ali. 'Amr ibn 'As
tampaknya dengan mudah meyakinkan Abu Musa, bahwa untuk
kejayaan ummat Islam, 'Ali dan Mu'awiyah harus disingkirkan.
Dengan perangkap 'Amr ini Abu Musa sebagai wakil yang lebih
tua, dipersilakan naik mimbar lebih dahulu guna mengumumkan
hasil perundingan mereka, dan secara sungguh-sungguh Abu
Musa menyatakan pemecatan 'Ali sedangkan 'Amr yang naik
mimbar kemudian, menyatakan kegembiraannya atas pemecatan
'Ali tersebut, kemudian ia mengangkat Mu'awiyah sebagai
penggantinya.10 Sekalipun pihak 'Ali kalah total, namun 'Ali
tetap memegang jabatan khalifah sampai ia terbunuh di mesjid
Kufah, oleh seorang Khawarij bernama Ibn Muljam, tahun 41
H/661 M.

Pembelotan kaum Khawarij yang disebabkan oleh peristiwa
tahkim atau arbitrase antara 'Ali dengan Mu'awiyah, semakin
mempersulit dan memperlemah posisi Khalifah 'Ali terutama
sekali sesudah penumpasan pasukan 'Ali terhadap kaum
separatis ini di Nahrawan. Perang di Nahrawan, menyebabkan
dendam mereka semakin memuncak terhadap Khalifah. Dalam
hubungan ini, Donaldson menjelaskan bahwa kaum Khawarij
membentuk pasukan berani mati yang terdiri: 'Abdur-Rahman
ibn Muljam untuk membunuh 'Ali, Hajjaj ibn 'Abdullah
as-Sarimi untuk membunuh Mu'awiyah, dan Zadawaih untuk
membunuh 'Amr ibn 'As. Akan tetapi, dua petugas yang disebut
belakangan ini gagal mencapai maksudnya.11 Dengan demikian,
posisi Mu'awiyah semakin kuat.

Dalam menghadapi dilema politik. 'Ali lebih tampak sebagai
seorang panglima perang daripada sebagai seorang politikus.
Ia lebih suka menempuh jalan kekerasan, sekalipun harus
banyak memakan korban, sedangkan dengan jalan diplomasi yang
pernah ditempuhnya, ia tampak lebih banyak didikte oleh
pihak lawan. Tipe perjuangan 'Ali ini rupanya dikembangkan
oleh sekte Syi'ah Zaidiyyah.

Para pendukung dan pengikut setia Khalifah 'Ali apabila
dilihat dari aspek akidah mereka, tidak jauh berbeda dengan
akidah ummat Islam pada umumnya saat itu. Sudah barang
tentu, mereka belum mengenal sama sekali apalagi memiliki
doktrin-doktrin seperti yang dimiliki oleh kaum Syi'ah
sebagaimana yang kita kenal dalam sejarah, selain pendirian
mereka bahwa 'Ali lebih utama memangku jabatan Khalifah
sesudah Nabi . Jumlah mereka relatif lebih kecil. Dengan
demikian, pengikut setia 'Ali dalam mencapai cita-cita
perjuangannya saat itu belum berorientasi pada suatu doktrin
tertentu, maka saat itu dapat dikatakan bahwa Syi'ah belum
lahir. Ini berbeda dengan aliran Khawarij, semboyan: "Tiada
hukum yang wajib dipatuhi selain hukum Allah," sejak
keberadaan sekte ini, telah dijadikan sebagai doktrin dan
pengikutnya selalu berorientasi pada ajaran itu. Oleh
karenanya dipertanyakan, kapan lahirnya Syi'ah itu?

Mengenai lahirnya Syi'ah, terdapat beberapa pendapat yang
kontroversial . Pendapat al-Jawad yang dikutip oleh Prof. H.
Abu Bakar Atjeh dalam bukunya Perbandingan Mazhab Syi'ah,
menjelaskan bahwa lahirnya Syi'ah adalah bersamaan dengan
lahirnya nas (hadis) mengenai pengangkatan 'Ali ibn Abi
Talib oleh Nabi sebagai khalifah sesudahnya nas yang
dimaksud antara lain, mengenai kisah perjamuan makan dan
minum yang diselenggarakan oleh Nabi di rumah pamannya, Abu
Talib, yang dihadiri oleh 40 orang sanak keluarganya. Dalam
perjamuan itu beliau menyatakan: "...Inilah dia ('Ali)
saudaraku, penerima wasiatku dan khalifahku untuk kalian,
oleh karena itu, dengar dan taati (perintahnya) ..."
Pernyataan ini disampaikan oleh Nabi sesudah 'Ali menerima
tawaran beliau sebagai khalifahnya.

Nas seperti ini, jelas tidak terdapat dalam kitab Sahih
al-Bukhari dan Sahih Muslim, karena itu golongan Sunni
menolak nas tersebut bila dijadikan dalil untuk mengklaim
kekhilafahan bagi 'Ali sebagaimana yang dikehendaki oleh
kaum Syi'ah. Sebaliknya, tidak dimuatnya nas-nas semacam
itu, demikian Syarafuddin al-Musawi, oleh kedua imam hadis
tersebut dalam kitab sahihnya merupakan manipulasi golongan
Sunni terhadap hadis-hadis sahih yang berkaitan dengan
kekhilafahan 'Ali, karena nas itu dikhawatirkan akan menjadi
senjata kaum Syi'ah untuk menyerang paham mereka.12 Abu
Zahrah berpendapat bahwa Syi'ah tumbuh di Mesir masa
pemerintahan 'Usman, karena negeri ini merupakan tanah subur
untuk berkembangnya paham tersebut, kemudian menyebar ke
Irak dan di sinilah mereka menetap.13

Selain itu, adalah wajar apabila ada yang berpendapat, bahwa
lahirnya Syi'ah itu sewaktu Nabi sakit keras, pamannya,
'Abbas, menyarankan kepada 'Ali dan mengajaknya menghadap
Nabi untuk meminta wasiatnya, siapakah orang yang akan
menggantikan kepemimpinan beliau, namun maksud tersebut
ditolak 'Ali dengan tegas, dan ia pun bersumpah tidak akan
memintanya.14 Selanjutnya masih ada pendapat yang mengatakan
bahwa lahirnya Syi'ah itu bersamaan dengan terjadinya perang
Jamal, perang Siffin, dan perang di Nahrawan, karena pada
saat itu, seorang tidak dapat dikatakan sebagai Syi'ah
kecuali orang yang mengunggulkan kekhilafahan 'Ali daripada
'Usman ibn 'Affan, sebagai yang telah disinggung diatas.

Apabila dilihat ciri-ciri dari beberapa pendapat diatas,
maka pendapat pertama tampak sama sekali tidak realistis,
sedangkan tiga pendapat yang terakhir, rupanya lebih
menitikberatkan pada adanya sikap dan tindakan-tindakan
nyata sebagai pendukung dan pengikut setia 'Ali semasa
hidupnya. Akan tetapi, apabila kelahiran Syi'ah dilihat
sebagai suatu aliran keagamaan yang bersifat politis secara
utuh, maka ia harus dilihat pula dari aspek ajaran atau
doktrin politiknya, yaitu tentang hak legitimasi
kekhilafahan pada keturunan 'Ali dengan Fatimah, puteri
Rasulullah, sebab dari segi doktrin inilah identitas Syi'ah
tampak lebih jelas, berbeda dengan identitas sekte-sekte
Islam lainnya. Dan munculnya doktrin Syi'ah seperti ini
adalah bermula sejak timbulnya tuntutan penduduk Kufah -
pendukung 'Ali - agar masalah kekhilafahan dikembalikan
kepada keluarga Khalifah atau Ahlul-Bait dari tangan
orang-orang yang dianggap telah merampasnya. Dari penerapan
doktrin ini, penulis berpendapat bahwa lahirnya Syi'ah itu
bersamaan waktunya dengan pengangkatan Hasan ibn 'Ali ibn
Abi Talib sebagai imam kaum Syi'ah. Adapun aktivitas para
pendukung dan pengikut setia 'Ali pada periode sebelumnya,
hanyalah merupakan faktor yang mempercepat proses tumbuhnya
benih-benih Syi'ah yang sudah siap tumbuh dan berkembang.

2. PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN SEKTE-SEKTE SYI'AH

Dalam kajian ini, penulis lebih menitikberatkan pada bahasan
yang berkaitan dengan perkembangan sekte-sekte Syi'ah secara
garis besar, serta hubungannya dengan paham Mahdiyyah.

Pada masa Hasan ibn 'Ali, posisi kaum Syiah semakin goyah
karena derasnya fitnah, perselisihan, dan perpecahan di
kalangan mereka, yang sengaja ditanamkan oleh golongan
Saba'iyyah, pengikut Ibn Saba'.15 Lemahnya daya juang dan
kurang wibawanya Hasan adalah menjadi faktor yang
mempersulit posisi golongan Syi'ah. Usaha Hasan dalam
memerangi golongan Saba'iyyah, terutama sesudah kegagalannya
menumpas gerakan Mu'awiyah, sungguh hasilnya sangat
mengecewakan. Pada saat itulah Hasan mulai ditinggalkan oleh
kaumnya, demikian Ihsan Ilahi Zahir, sehingga sebagian
pengikutnya bergabung dengan golongan Saba'iyyah, sebagian
lagi berpaling pada Mu'awiyah, dan golongan Khawarij.16 Oleh
karena itu, Hasan pun kemudian memilih jalan damai dengan
pihak Mu'awiyah. Selanjutnya ia mundur dari jabatan khalifah
secara formal pada tahun 41 H/661 M, dengan demikian secara
de jure, ia menjabat selama sepuluh tahun, akan tetapi
secara de facto, ia berkuasa hanya enam bulan tiga hari.

Sesudah Hasan wafat, diangkatlah saudaranya, Husain ibn 'Ali
sebagai Imam. Putera 'Ali kedua ini tampak memiliki semangat
dan daya juang sebagai yang dimiliki bapaknya, namun sayang,
ia harus tewas di ujung pedang tentara Yazid di padang
Karbela secara memilukan, pada tanggal 1 Oktober 680 M.

Kematian Husain ini merupakan bencana bagi kaum Syi'ah,
sehingga makamnya dipandang sebagai tempat yang keramat
serta memiliki keistimewaan dan keluarbiasaan, lantaran
kecintaan mereka terhadap Husain, dan oleh karena itu,
mereka mentradisikan ziarah umum ke makamnya setiap bulan
Muharam.

Kematian Husain tersebut bermula dari banyaknya surat
penduduk Kufah yang menyatakan janji setianya kepada putera
'Ali ini. Aksi militer yang dilancarkan Husain, lantaran dia
lebih mempercayai janji orang Kufah daripada ia
mempertimbangkan saran-saran para penasihatnya yang cukup
berpengalaman dan mengetahui benar tabiat orang Kufah yang
telah mengkhianati keluarganya. Dan karenanya, kematian
Husain sebagai syahid, menimbulkan unsur baru dalam moral
agama di kalangan Syi'ah Kufah. Yaitu mereka merasa sangat
berdosa atas kematian Husain dan mereka berkeinginan untuk
menebus dosa mereka dengan mengangkat senjata menuntut bela
atas kematiannya pada penguasa Umayyah. Golongan tersebut
menamakan dirinya at-Tawawabun (orang-orang bertobat).

Golongan terakhir ini berkeyakinan bahwa mati berperang
karena membela kepentingan Ahlul-Bait adalah mati syahid.
Disinilah mereka mengidentikkan loyalitasnya terhadap 'Ali
dan keturunannya, sama dengan loyalitasnya terhadap Nabi
atau agama.

Ketidakpuasan kaum mawali dari Persia terhadap penguasa
Umayyah, mendorong mereka dan memberi arah yang sama sekali
baru, kepada kegiatan-kegiatan sosio-politik kaum Syi'ah,
demikian Fazlur Rahman, sehingga pimpinan Syi'ah, mungkin
sekali ia orang Arab, tetapi para pengikutnya beralih dari
bangsa Arab ke bangsa Persia.17 Sejak itulah kaum Syi'ah
mengalami perubahan besar dan mulai mengarahkan gerakannya,
dari gerakan politik semata kepada gerakan keagamaan yang
bercorak kemazhaban. Selanjutnya Ihsan Ilahi Zahir
menjelaskan bahwa sesudah Syi'ah terikat oleh unsur-unsur
asing yang melindas, maka Syi'ah terlepas dari kebiasaan
bangsa Arab yang terdidik secara Islami, dan sekalipun
mereka kaum Syi'ah masih berada dalam lingkaran Islam, namun
bukan-Islam yang ortodoks, akan tetapi, Islam dalam
bentuknya yang baru.18

Pada saat yang sama, Syi'ah mulai membawa pikiran-pikiran
asing secara terselubung, aliran ini juga merupakan wadah
dari berbagai aspirasi, dan tempat berlindungnya musuh-musuh
Islam yang ingin merusak dari dalam sehingga ia mudah
terpecah belah menjadi sub-sub sekte yang banyak sekali.
Diantara kelompokkelompok yang memasukkan ajaran-ajaran
nenek moyang mereka kedalam ajaran Syi'ah ialah golongan
Yahudi, Nasrani, Zoroaster, dan Hindu. Mereka itu
berkeinginan melepaskan negerinya dari kekuasaan Islam
dengan menyembunyikan niat jahat mereka dan menunjukkan
sikap berpura-pura mencintai Ahlul-Bait sebagai kedok.19
Seperti ajaran Syi'ah tentang: 'Aqidah ar-Raj'ah, ucapan
sementara golongan ini bahwa api neraka tidak akan membakar
mereka kecuali sedikit saja. Demikian pula diantara mereka
ada yang mengatakan bahwa hubungan al-Masih dengan Tuhan,
sifat ketuhanan yang menyatu dengan sifat kemanusiaan
seperti pada diri seorang imam, juga ada yang mengatakan
bahwa kenabian atau kerasulan itu tidak akan terhenti untuk
selamanya. Selanjutnya ada pula diantara mereka yang
menjisimkan Tuhan, berbicara tentang Tanasukh atau
Reinkarnasi dan Hulul dan lain sebagainya.

Tampaknya figur Husain, bagi kaum Syi'ah mempunyai
keistimewaan tersendiri; terutama bagi Syi'ah Persia. Hal
itu mungkin sekali karena Husain adalah cucu rasul di satu
pihak, sedangkan istrinya Syahr Banu puteri Yazdajird III,
mantan raja Persia di pihak lain. Sebelum Islam, di Persia
telah berkembang suatu tradisi yang bertolak dan pandangan
tentang "Hak Ketuhanan" atau Divine right yang berarti bahwa
dalam diri raja Persia telah mengalir darah ketuhanan.
Dengan demikian, raja memiliki kebenaran tindakan yang harus
dipatuhi oleh rakyat. Raja ibarat pengayoman Allah di bumi
untuk menegakkan kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Pandangan
seperti ini, demikian Ahmad Syalabi, masih tetap ada sesudah
orang Persia itu memeluk Islam, sehingga karenanya mereka
memandang Ahlul-Bait sebagai orang yang berhak memerintah
dan harus ditaati oleh manusia.20 Rupanya pandangan seperti
inilah yang membentuk konsep pola keimaman dalam Syi'ah.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa faktor
sosio-religio-kultural yang membentuk Syi'ah seperti
sekarang ini adalah akibat penetrasi budaya dan kepercayaan
non-Islam yang pernah berakar pada suatu masyarakat di suatu
negeri, dan pernah memiliki peradaban yang lebih maju
daripada bangsa penakluknya. Biasanya kaum Syi'ah membentuk
pola kehidupan keagamaan yang berbeda dan bahkan sering
bertentangan serta menghilangkan corak keagamaan aslinya.
Kepercayaan hasil perpaduan antara dua tradisi keagamaan
yang berbeda, yaitu Islam dan non-Islam, yang melahirkan
praktek keagamaan baru dalam Islam merupakan bid'ah yang
sangat dicela oleh Nabi, sebagaimana sabdanya:

"... Maka sesungguhnya sebaik-baik ajaran adalah kitab Allah
(al-Quran) dan petunjuk yang terbaik adalah petunjuk
Muhammad saw., dan perkara yang terjahat ialah perkara baru
yang dicipta dalam agama (bid'ah). Dan setiap bid'ah adalah
sesat". (Hadis riwayat Muslim).

Sebagaimana diketahui dalam sejarah, agama Nasrani setelah
memasuki kerajaan Romawi, juga mengalami distorsi yang jauh
lebih mengarah pada perombakan terhadap ajaran Nabi Isa a.s.
Munculnya ajaran Paulus sebagai perpaduan antara ajaran
Nasrani dengan kepercayaan dan kebudayaan Romawi, berakibat
munculnya praktek-praktek keagamaan baru yang diikuti oleh
lahirnya berbagai sekte keagamaan. Demikian pula dengan
sekte-sekte Syi'ah yang muncul sesudah Husain wafat.

Adapun munculnya sekte-sekte Syi'ah, bermula dari masalah
imamah atau kepemimpinan. Yaitu siapakah yang berhak menjadi
imam sesudah terbunuhnya Husain, oleh karena pada saat itu
belum ada diantara putera-puteranya yang mencapai usia
dewasa. Rupanya kaum Syi'ah sulit menghindari perpecahan,
karena timbulnya tiga kelompok yang berbeda paham.

Golongan pertama, memandang bahwa keimaman harus berada di
tangan keturunan Husain dan tidak boleh lepas dari mereka,
dan keimaman harus melalui nas dari imam baik yang dikenal
maupun yang tersembunyi, golongan ini terpaksa mengangkat
putera Husain yang belum dewasa sebagai imam. Golongan ini
kemudian disebut golongan Imamiyyah.

Adapun golongan kedua, berpendapat bahwa mengangkat imam
yang belum dewasa adalah tidak sah. Mereka tidak yakin bahwa
Husain telah menjanjikan keimaman itu kepada salah seorang
puteranya untuk dibai'at. Oleh karena itu, mereka bersikap
menunggu-nunggu sampai munculnya seorang putera keturunan
Husain atau Hasan yang memiliki ilmu pengetahuan, kezuhudan,
keberanian, kesalehan, keadilan, dan berani mengangkat
senjata terhadap penguasa yang zalim. Oleh karenanya
golongan ini disebut dengan al-Waqifah. Mereka menghentikan
aktivitasnya selama 60 tahun sejak terbunuhnya Husain sampai
bangkitnya Zaid ibn 'Ali ibn Husain di Kufah yang
memberontak kepada Hisyam ibn 'Abd al-Malik dari dinasti
Umayyah. Kemudian golongan ini dikenal dengan nama Syi'ah
Zaidiyyah.

Golongan ketiga berpendapat bahwa jabatan imam sesudah
Husain, jatuh pada Muhammad ibn al-Hanafiyyah yaitu saudara
seayah dengan Husain, sekalipun dia bukan dari garis Nabi.
Golongan ketiga ini beralasan, demikian al-Mahdi lidinillah
Ahmad, bahwa 'Ali ibn Abi Talib meminta kehadiran Muhammad,
saat menjelang wafat dan saat berwasiat kepada
putera-puteranya. 'Ali meminta kepada Muhammad agar mentaati
Hasan dan Husain, dan sebaliknya agar keduanya berbuat baik
dan menghormati Muhammad ibn al-Hanafiyyah. Oleh karena itu,
kelompok ini memandang kehadiran Muhammad bersama kedua
saudaranya menerima wasiat 'Ali tersebut, menunjukkan bahwa
dia juga memperoleh hak untuk diangkat sebagai imam.21
Golongan ketiga ini dikenal dengan nama Syi'ah Kaisaniyyah.
Pendirinya adalah Kaisan bekas budak 'Ali, ada pula yang
mengatakan bahwa dia adalah Mukhtar ibn Abi 'Ubaid, sehingga
golongan ini disebut pula dengan nama Mukhtariyyah.

Perpecahan Syi'ah tersebut, berakibat langsung terhadap
lahirnya sekte-sekte baru dengan corak pemikiran yang
berbeda-beda. Jika golongan Imamiyyah dalam masalah keimaman
lebih menitikberatkan pada keturunan Husain, maka golongan
al-Waqifah yang kemudian dikenal dengan Syi'ah Zaidiyyah,
lebih memfokuskan perhatiannya pada persyaratan-persyaratan
yang harus dimiliki oleh seorang imam. Mereka tidak perduli,
apakah dia keturunan Hasan atau keturunan Husain asalkan dia
masih berada di jalur keturunan Nabi. Akan tetapi, bagi
golongan Kaisaniyyah tidak memandang penting jalur keturunan
itu dari Nabi, namun yang terpenting adalah jalur keturunan
'Ali ibn Abi Talib.

A. SYI'AH KAISANIYYAH

Dilihat dari eksistensi dan gerakannya, golongan ini dapat
dikatakan sebagai sekte Syi'ah yang tertua. Mereka
mengadakan aksi militer terhadap penguasa Bani Umayyah,
dengan dalih membela hak-hak kaum tertindas. Ide ini
tampaknya didukung oleh kaum Mawali Irak dan Persia, yang
diperlakukan oleh pemerintah Umayyah sebagai masyarakat
kelas dua. Sebagai akibatnya penduduk kedua kota tersebut
tidak simpati lagi pada Bani Umayyah.

Sekte ini mengangkat Muhammad ibn Hanafiyyah sebagai imam,
sedangkan ajarannya bersumber pada ajaran Ibn Saba' dan
golongan Saba'iyyah, seperti ajaran tentang: al-Gaibah,
'Aqidah ar-Raj'ah (keyakinan akan kembalinya seorang imam
yang telah wafat), dan Tanasukh. Al-Syahrasrani menyatakan,
bahwa sesudah Muhammad ibn al-Hanafiyyah yang dikenal
sebagai orang yang berpengetahuan luas dan berpikiran
cemerlang mengerti bahwa sekte ini mengajarkan ajaran bohong
dan sesat, ia pun segera berlepas tangan dari kesesatan dan
kebid'ahan mereka, serta pengkultusan-pengkultusan pengikut
aliran ini terhadap dirinya. Mereka beranggapan bahwa dia
memiliki berbagai keluarbiasaan atau
al-Makhariqul-Mumawwahah yakni keluarbiasaan yang mereka
buat-buat untuk Muhammad ibn al-Hanafiyyah.22

Sesudah ia wafat, jabatan imam beralih kepada puteranya, Abu
Hasyim, kemudian lahirlah subsekte baru yang dikenal dengan
al-Hasyimiyyah. Setelah Abu H-asyim wafat timbul masalah
siapa pemegang jabatan imam sesudahnya. Jabatan ini
tampaknya menjadi rebutan diantara kelompok-kelompok yang
berambisi, sehingga timbul pendapat yang kontroversial.
Dalam hubungan ini asy-Syahrastani menjelaskan bahwa
kelompok yang berselisih itu ada yang mengatakan, sebenarnya
Abu Hasyim telah mewasiatkan keimanan itu kepada Muhammad
ibn 'Ali ibn 'Abdullah ibn 'Abbas, saat ia hendak wafat
dalam perjalanan pulang dari Syria. Selanjutnya penerima
wasiat ini terus mewasiatkan keimaman ini kepada anak
keturunannya, sehingga jadilah kekhilafahan itu jatuh ke
tangan Bani 'Abbas. Kelompok lain mengatakan bahwa jabatan
imam itu jatuh pada kemenakan Abu Hasyim, Hasan ibn 'Ali ibn
Muhammad al-Hanafiyyah. Akan tetapi, ada pula yang
mengatakan, keimaman itu dilimpahkan kepada saudara Abu
Hasyim sendiri yaitu 'Ali, baru kemudian, 'Ali mewasiatkan
pada puteranya, Hasan. Adapun kelompok terakhir mengatakan,
bahwa keimaman itu telah lepas dari Abu Hasyim, karena ia
telah mewasiatkannya kepada 'Abdullah al-Kindi,23 oleh
karenanya menurut golongan ini, ruh Abu Hasyim telah
berpindah ke dalam diri 'Abdull-ah al-Kindi, sehingga
berkembanglah paham Reinkarnasi di kalangan pengikutnya.

B. SYI'AH ZAIDIYYAH

Sekte ini berdiri sesudah berselang 60 tahun setelah Husain
wafat, di bawah pimpinan Imam Zaid ibn 'Ali. Sekte tersebut
memiliki persyaratan khusus dalam memilih seorang imam yaitu
seorang yang 'Alim, Zahid (sangat berhati-hati dengan
masalah dunia), pemberani, pemurah, dan mau berjihad di
jalan Allah guna menegakkan keimaman taat pada agama baik
dia dari putera Hasan atau Husain.

Dalam masalah kekhilafahan atau keimaman, golongan ini
rupanya lebih moderat. Mereka bisa menerima Imam Mafdul
yakni imam yang dinominasikan, disamping adanya Imam
al-Afdal atau imam yang lebih utama. Pikiran seperti ini,
tentunya karena pendiri sekte Zaidiyyah, pernah berguru
kepada Wasil ibn 'Ata, pendiri Mu'tazilah. Oleh sebab itu,
aliran ini tidak menyalahkan atau membenci khalifah-khalifah
sebelum 'Ali ibn Abi Talib. Pendirian tentang [kata-kata
Arab] yaitu sahnya imam yang dinominasikan disamping adanya
seorang imam yang lebih utama, tampaknya mendapat reaksi
keras dari Syi'ah Kufah dan menolak pendirian tersebut.
Itulah sebabnya mereka disebut golongan Syi'ah Rafidah.

Sebagaimana diketahui, umumnya kaum Syi'ah berprinsip bahwa
'Ali ibn Abi Talib adalah satu-satunya orang yang lebih
berhak menjadi Khalifah sesudah Nabi, tetapi mereka berbeda
paham tentang siapa yang berhak menjadi imam sesudah Husain
wafat. Perbedaan-perbedaan paham itu rupanya menjadi faktor
yang mewarnai identitas kelompok masing-masing. Sebagai
contoh sekte Zaidiyyah, karena doktrinnya yang keras dalam
mencapai cita-cita perjuangannya, lebih suka menempuh jalan
kekerasan, sehingga pemimpinnya banyak yang mengalami nasib
sama dengan nasib Husain ibn 'Ali. Zaid juga menjadi korban
kecurangan penduduk Kufah karena kurang memperhatikan
saran-saran dari Salman ibn Kuhail, 'Abdullah ibn Hasan, dan
saran dari saudaranya sendiri Muhammad al-Baqir. Selanjutnya
dijelaskan bahwa pada saat dia berada di ujung pedang Yusuf
ibn 'Umar Gubernur Irak, Zaid pun ditinggalkan oleh
orang-orang Kufah.24 Sesudah ia wafat pada 122H, jabatan
imam beralih kepada puteranya, Yahya, yang menyingkir ke
Khurasan. Kemudian ia mengadakan pemberontakan terhadap
pemerintahan Walid ibn Yazid dan mengalami nasib sama dengan
nasib ayahnya. Sesudah itu keimaman dipegang oleh Muhammad
ibn 'Abdullah ibn Hasan yang dikenal dengan
an-Nafsuz-Zakiyyah, bersama-sama dengan Ibrahim, dan
keduanya terbunuh sesudah mereka mengadakan aksi militer di
Madinah. Seandainya sekte ini tidak menempuh jalan kekerasan
dalam mengembangkan ide-ide doktrinalnya yaitu dengan
menyebarkan karya-karya ijtihad para imam mereka, tentu
keberadaan sekte ini lebih berakar dan berpengaruh dalam
masyarakat.

Selanjutnya dijelaskan bahwa sesudah terbunuhnya Ibrahim di
Basrah, sekte Zaidiyyah ini sudah tidak terorganisasikan
lagi sampai munculnya Nasir al-Atrus yang menda'wahkan
mazhab Zaidiyyah di daerah Dailam dan Jabal, dua daerah yang
kemudian menjadi basis Syi'ah Zaidiyyah.25 Sebagaimana
sekte-sekte yang lain, golongan Zaidiyyah pun mengalarni
perpecahan menjadi beberapa subsekte. Diantara sektenya yang
menyimpang jauh dari doktrin Zaidiyyah adalah al-Jarudiyyah.
Pengikutnya memandang Muhammad an-Nafsuz-Zakiyyah sebagai
al-Mahdi.

C. SYI'AH IMAMIYYAH

Aliran ini menjadikan semua urusan agama harus berpangkal
pada Imam, sebagaimana halnya kaum Sunni mengembalikan
seluruh persoalan agama pada al-Quran dan Sunnah atau ajaran
Nabi. Menurut paham Imamiyyah, manusia sepanjang masa tidak
boleh sunyi dari imam, karena masalah keagamaan dan
keduniaan selalu membutuhkan bimbingan para imam. Bahkan
mereka mengatakan, tidak ada yang lebih penting dalam Islam,
melainkan menentukan seorang imam. Kebangkitannya adalah
untuk melenyapkan perselisihan dan menetapkan kesepakatan.
Oleh karena itu, ummat ini tidak boleh mengikuti pendapatnya
sendiri dan menempuh jalannya sendiri yang berbeda-beda yang
mengakibatkan perpecahan.

Aliran ini berkeyakinan bahwa keimaman 'Ali ibn Abi Talib
sesudah wafat Nabi adalah dengan nas yang jelas dan benar.
Ibn Khaldun menjelaskan bahwa keimaman bagi mereka, tidak
hanya merupakan kemaslahatan umum yang harus diserahkan
kepada ummat untuk menentukarrnya, bahkan imam merupakan
tiang agama dan tatanan Islam yang tidak mungkin dilupakan
oleh Nabi untuk menentukannya. Dan ia harus seorang yang
ma'sum (suci dari segala dosa) dan nas itu sendiri menurut
mereka, ada yang secara tegas dan ada pula yang
samar-samar.26

Konsep keimaman mereka, bagi sekte Zaidiyyah, sebagaimana
dijelaskan Ibn Khaldun dalam Muqaddimah-nya, pengangkatan
seorang imam bukan ditetapkan oleh nas, tetapi dengan
pemilihan oleh Ahlul-Halli wal-'Aqd yaitu semacam dewan yang
diberi wewenang mengangkat dan menetapkan seorang imam. Jika
Syi'ah Imamiyyah menerima kekhilafahan Abu Bakr dan 'Umar,
maka berarti mereka harus menerima paham Sunni, dan secara
tidak langsung mereka harus mengakui pula kekhilafahan Bani
Umayyah yang mereka kategorikan sebagai kelompok Sunni. Oleh
karena itu, kekhilafahan kedua tokoh diatas, harus mereka
tolak keabsahannya. Kecintaan kaum Syi'ah terhadap 'Ali dan
Ahlul-Bait yang menjurus ke arah kultus individu di satu
pihak, dan kebencian mereka terhadap Bani Umayyah karena
penindasannya pada Ahlul-Bait di pihak lain, bermula dari
dendam permusuhan lama antara Bani Hasyim dengan Bani
Umayyah sebelum Islam.

Di sisi lain, rupanya hubungan kaum Mawali Persia dengan
keturunan Ali ibn Abi Talib, dengan cara menunjukkan
kecintaan serta pembelaan mereka terhadap hak-hak
Ahlul-Bait, tampaknya menjadi faktor penyebab retaknya
keluarga Bani Hasyim. Perpecahan itu ditandai dengan
lahirnya kelompok pendukung keturunan 'Ali ibn Abu Talib di
satu pihak, yang dikenal dengan golongan Syi'ah, dan
munculnya Bani 'Abbas di pihak lain. Jika keturunan 'Ali
selalu gagal merebut kekuasaan politik pada masa
pemerintahan dinasti Umayyah, maka keturunan 'Abbas, lewat
Syi'ah Kaisaniyyah, berhasil merebutnya dan mendirikan
dinasti 'Abbasiyyah. Sebagaimana diketahui dalam sejarah,
untuk mempertahankan eksistensi dan kekuasaannya kelompok
terakhir ini, memandang kelompok pertama sebagai saingan
politiknya sebagaimana halnya orang-orang Umayyah, sehingga
penguasa baru tersebut tidak bisa terlepas dari sikap dan
tindak kekerasan terhadap saudara sesukunya (Bani Hasyim)
seperti yang pernah dilakukan oleh dinasti Umayyah terhadap
lawan-lawan politiknya.

Sebagai yang telah disinggung diatas, perpecahan Syi'ah
Imamiyyah bermula dari masalah siapa yang berhak menjadi
imam sesudah Husain wafat? Menurut sekte ini karena saat itu
dapat dikatakan dalam keadaan darurat, maka mereka memandang
sah pengangkatan 'Ali ibn Husain yang dijuluki dengan
Zainal-'Abidin,27 sekalipun ia belum dewasa. Imam ini
selamanya tinggal di Madinah sampai wafatnya di tahun 94 H,
dan ia pun tidak pernah mengadakan aksi kekerasan terhadap
penguasa Bani Umayyah. Sekte ini sesudah 'Ali ibn Husain
wafat, enggan mengakui Zaid ibn 'Ali sebagai Imam, tetapi
mengangkat saudaranya Muhammad al-Baqir. Dalam usia 19, ia
menduduki jabatan imam tersebut di akhir masa pemerintahan
al-Walid, namun ia tetap tinggal di Madinah sebagaimana
ayahnya.28 Sepeninggal al-Baqir, jabatan imam dipegang oleh
puteranya, Ja'far as-Sadiq. Silsilah imam ini, dari jalur
ayahnya sampai kepada Nabi; sedangkan dari jalur ibunya,
Ummu Farwah, sampai kepada Abu Bakr as.-Siddiq. Ketenarannya
sebagai guru dan pemikir besar di zamannya, diakui oleh
semua pihak yang mengenal kemasyhurannya, terutama di bidang
ilmu fiqh dan hadis.

Sejumlah muridnya telah memberikan andil besar dalam
memajukan Ilmu Fiqh dan Ilmu Kalam, sepeffi: Abu Hanifah dan
Anas ibn Malik. Menurut riwayat lain juga terdapat nama-nama
seperti Wasil ibn 'Ata yang dikenal sebagai tokoh dan
pendiri Mu'tazilah, dan Jabir ibn Hayyan sebagai ahli kimia
yang masyhur. Karena kemasyhurannya itu, beberapa tokoh
Syi'ah abad modern seperti Syarafuddin al-Mu-sawi, 'Ali
Syariati dan lain sebagainya , menunjukkan klaim terhadap
ummat Islam non Syi 'ah supaya mereka mengakui dan menerima
pikiran-pikiran hasil ijtihad Imam Ja'far as-Sadiq sebagai
mazhab ke-5 dalam Islam, namun demikian, karya-karya besar
Imam ini, di perguruan tinggi Timur Tengah, seperti
Universitas al-Azhar di Mesir, telah dijadikan bidang studi
sendiri dalam Ilmu Fiqh.

'Ulama' besar dari kalangan Ahlul-Bait ini menyatakan
berlepas tangan dari segala kebohongan dan kebodohan ucapan
serta tindakan kaum Syi'ah Rafidah yang dihubungkan pada
dirinya, seperti ucapan mereka tentang: al-Gaibah,
ar-Raj'ah, al-Bada', Tanasukh, Hulul, dan at-Tasybih atau
penyerupaan Tuhan dengan manusia. Penolakannya terhadap
kebid'ahan-kebid'ahan kaum Syi'ah dinyatakan dengan tegas
sebagai berikut:

"Semoga Allah mengutuk mereka (kaum Syi'ah), sesungguhnya
kami tidak membiarkan para pendusta yang senantiasa membuat
kedustaan atas nama kami. Maka cukuplah bagi kami, Allah
sebagai pengaman dari semua para pendusta. Dan semoga Allah
menyangatkan panasnya siksa pada diri mereka."2929

Dari uraian diatas, nyatalah bahwa tokoh-tokoh Ahlul-Bait
yang diangkat sebagai Imam oleh kaum Syi'ah, pada umumnya
tinggal di Madinah dan mereka jauh dari para pengikutnya
yang bertebaran di berbagai negeri. Tampaknya tidak seorang
pun di antara para Imam itu yang menyimpang dari ajaran
Islam, dan bahkan mereka tidak suka menyerang pribadi Abu
Bakr atau 'Umar, malahan mereka menghormatinya. Oleh karena
itu, sikap para Imam yang lurus dan tegas terhadap segala
penyelewengan para pengikutnya, dapat diduga sebagai salah
satu faktor yang menambah kejengkelan mereka dan sebagai
reaksinya, kaum Syi'ah tidak segan-segan mencatut nama baik
imam-imam mereka untuk menguatkan pendirian atau paham
masing-masing. Tidak mustahil, jika kaum Syi'ah kemudian
mendirikan sub-sub sekte yang ekstrem dengan menyerap
ajaran-ajaran non-Islam dan kemudian mereka membuat
cerita-cerita fiksi tentang kehebatan dan keluarbiasaan
imam-imam mereka.

Perpecahan Syi'ah Imamiyyah sesudah Ja'far as-Sadiq wafat,
semakin meluas dan perpecahan ini tampaknya berpangkal,
siapa di antara enam puteranya yang lebih berhak
menggantikannya. Maka mulailah muncul sub-sub sekte baru
seperti: An-Nawusiyyah, yang memandang Ja'far as-Sadiq
sebagai al-Qa'im atau al-Mahdi demikian pula halnya dengan
al-Musawiyah, pengikut Musa al-Kazim yang berkeyakinan bahwa
Musa tidak mati, ia hanya gaib saja dan akan kembali lagi ke
dunia, dan tidak akan ada lagi seorang imam sesudahnya. Oleh
karena itu, sekte yang terakhir ini disebut juga dengan
al-Qat'iyyah. Dalam bahasan ini akan dibicarakan dua
subsekte yang terpenting, dan keduanya mempunyai corak
kemahdian yang berbeda satu sama lain

1. SYI'AH ISMAILLIYYAH

Aliran ini dikenal pula dengan Syi'ah Sab'iyyah atau Syi'ah
Batiniyyah. Disebut demikian, karena pengikut sekte
berkeyakinan bahwa Imam yang ketujuh bagi mereka adalah
Isma'il atau karena pendirian mereka yang menyatakan bahwa
setiap yang lahir, pasti ada yang batin dan setiap ayat yang
turun pasfi ada Ta'wil atauTafsir Batiniyyah-nya.

Syi'ah Isma'iliyyah ini muncul sesudah tahun 200 H, menurut
penuturan al-Mahdi Lidinillah Ahmad yang mengutip pernyataan
al-Hakim dan kesepakatan para penulis Muslim, bahwa orang
yang mula-mula membangun mazhab ini ialah anak-anak orang
Majusi dan sisa-sisa pengikut aliran Huramiyyah.30 Mereka
dihimpun oleh suatu perkumpulan yang bekerja sama dengan
orang-orang yang ahli tentang Islam dan filsafat. Motif
mereka tidak lain, karena mereka ingin membuat tipu daya
guna merusak Islam dengan menyusupkan para propagandisnya
kedalam masyarakat Syi'ah yang masih awam, karena mereka iri
terhadap kejayaan Islam.31 Untuk pertama kalinya sekte ini
lahir di Irak, kemudian ia mengalihkan gerakannya ke Persia,
Khurasan, India, dan Turkistan. Di daerah-daerah tersebut,
ajaran-ajarannya bercampur dengan kepercayaan versi lama dan
pemikiran Hindu. Dalam hubungan ini Fazlur Rahman
menjelaskan bahwa Syi'ah Isma'iliyyah ini giat berpropaganda
di sekitar abad II H/IX M - V H/XI M, sehingga ia pernah
menjadi aliran terkuat di dunia Islam, sejak dari Afrika
sampai ke India dengan mengobarkan revolusi sosial, melalui
asimilasi ide-ide dari luar terutama ide platonisme dan
gnostik. Dari sinilah sekte tersebut menyusun sistem
filsafat diatas mana dibangun suatu agama baru, setelah
merongrong struktur keagamaan ortodoks.32

Isma'il yang wafat mendahului ayahnya, diyakini keimamannya
melalui nas dari ayahnya, Ja'far as-Sadiq. Pengikut sekte
ini mengingkari kematiannya dan ia dipandang sebagai
al-Qa'im (yang bangkit) sampai ia menguasai bumi dan
menegakkan urusan manusia. Sesudah Isma'il, jabatan imam
diteruskan oleh anaknya, Muhammad al-Maktum dan selanjutnya
jabatan tersebut diteruskan oleh puteranya, Muhammad
al-Habib, kemudian oleh penggantinya, 'Abdullah al-Mahdi.
Dalam propagandanya ia mendapat sukses karena jasa Abu
'Abdullah as-Syi'i, sesudah ia lolos dari tempat
penahanannya di Sijilmasah, ia dapat menguasai daerah
Kairuwan dan Magrib (Afrika). Dalam perkembangan
selanjutnya, anak keturunan al-Mahdi ini akhirnya dapat
menguasai Mesir dan mendirikan dinasti Fatimiyyah.

Sesudah sekte ini merasa kuat posisinya, berakhirlah Imam
Mastur dan muncullah 'Abdullah ibn Muhammad al-Habib yang
mengaku sebagai Imam Mahdi yang dijanjikan. Diantara sub
sektenya yang paling agresif adalah golongan Qaramitah yang
dipelopori oleh Hamdan ibn Qarmat dipenghujung abad ke-3 H/9
M. Gerakannya bertujuan, di bidang politik, membantu
berdirinya dinasti Fatimiyyah di Mesir, sedangkan di bidang
sosial, membangun masyarakat yang didasarkan atas asas
kebersamaan. Mereka hidup dalam suatu komune yang hampir
menyerupai sistem kehidupan masyarakat komunis. Kepercayaan
aliran ini terhadap al-Mahdi, tidak jauh berbeda dengan
keyakinan Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Hanya saja pengikut sekte
Qaramitah ini menganggap Muhammad ibn Isma'il sebagai
al-Mahdi atau al-Qa'im. Ia masih hidup dan tidak akan mati
serta akan kembali lagi ke dunia dan memenuhi bumi dengan
keadilan. Menurut keyakinan mereka, berita kemahdiannya
telah disampaikan oleh imam-imam pendahulunya.33

Selain aliran Qaramitah, muncul pula golongan Druziyyah,
yang dipimpin dan didirikan oleh ad-Durzi. Tampaknya aliran
ini rapat hubungannya dengan Syi'ah al-Hakimiyyah yang lahir
di masa al-Hakim bi Amrillah al-Fatimi yang memerintah Mesir
di tahun 386 H. Dialah yang didewa-dewakan sebagai tuhan.
Dalam hubungan ini, menurut salah satu riwayat, dia adalah
Hamzah ad-Durzi yang datang dari Persia ke Mesir, kemudian
membujuk al-Hakim agar dirinya diperbolehkan untuk
mempropagandakan paham baru yaitu bahwa al-Hakim adalah
tuhan, sehingga manusia mau menyembahnya.34 Sangat boleh
jadi, ajaran tentang Hulul dan Tanasukh versi aliran
Druziyyah ini, dipengaruhi oleh ajaran al-Hallaj (858 - 922
M), yang dalam konsep filsafat ketuhanannya, menjelaskan
bahwa Tuhan mempunyai sifat-sifat kemanusiaan (an-Nasut),
dan manusia pun memiliki sifat-sifat ketuhanan (al-Lahut).
Kemudian ajaran ini oleh ad-Durzi diterapkan pada diri
al-Hakim yang dipropagandakan sebagai tuhan.

Doktrin esoteris ciptaan Syi'ah Batiniyyah yang inovatif,
terutama dalam menginterpretasikan ayat-ayat al-Quran,
adalah benar-benar jauh dari ruh Islam dan mengingatkan kita
pada aliran kebatinan Gatholoco di Jawa. Sekte ini pada masa
Aga Khan, sewaktu Inggris berkuasa di India, demikian Ahmad
Syalabi menjelaskan, dijadikan sebagai alat untuk
menghancurkan Islam dan menguasai ummat Islam dengan hak dan
kewajiban yang saling menguntungkan kedua belah pihak.35
Taktik Inggris ini rupanya sama dengan yang dilakukannya
terhadap golongan Ahmadiyah, yaitu untuk membantu
kepentingan Inggris di India. Dalam kerjasamanya dengan
Inggris, aliran Batiniyyah atau Isma'iliyyah ini, mendapat
kebebasan menyebarkan pahamnya di koloni-koloni Inggris, dan
sebagai imbalannya, aliran ini harus patuh pada Inggris.

2. SYI'AH ISNA 'ASYARIYYAH

Aliran ini lebih luas pengaruhnya dan lebih kuat posisinya
sampai hari ini bila dibandingkan dengan pengaruh dan posisi
aliran-aliran Syi'ah lainnya. Mayoritas pengikut sekte ini
tinggal di Iran dan Irak. Aliran ini didirikan sesudah abad
ke-3 H, akan tetapi ada pula yang berpendapat, bahwa ia
lahir sesudah hilangnya Muhammad al-Mahdi al-Muntazar secara
misterius pada tahun 260 H.

Keimaman pada sekte ini, sesudah Ja'far as-Sadiq, adalah
Musa al-Kazim, sesudah itu jabatan imam dipegang oleh
puteranya, 'Ali Rida. Dialah satu-satunya Imam Syi'ah dari
Ahlul-Bait yang diangkat sebagai putera mahkota oleh
Khalifah al-Ma'mun dari dinasti 'Abbasiyyah. Kemudian
keimaman sesudahnya beralih kepada puteranya Muhammad
at-Taqi, dan selanjutnya ia pun digantikan oleh puteranya
'Ali an-Naqi atau al-Hadi. Ia tinggal di Madinah dan memberi
pengajaran di sana. Akibat kritik-kritiknya yang tajam
terhadap Khalifah al-Mu'tasim, ia dipenjarakan di Samarra
sampai wafatnya tahun 254 H/ 868 M dalam usia 40 tahun.
Selanjutnya keimaman beralih kepada puteranya, Hasan
al-'Askari, yang dikenal sebagai Imam yang tekun dan
menguasai beberapa bahasa.

Pada masa keimamannya, perpecahan Syi'ah Isna 'Asyariyyah
ini semakin meluas, dan banyak diantara para pengikutnya,
terutama kaum 'Alawiyyun (pengikut 'Ali ibn Abi Talib)
mendakwahkan dirinya sebagai imam. Menurut asy-Syahrastani,
Hasan al-'Askari wafat dalam usia 28 tahun (260 H/874 M) di
Samarra.36 Kemudian diangkatlah puteranya, Muhammad ibn
Hasan al'Askari sebagai imam yang ke-12, yang dimitoskan
sebagai al-Mahdi al-Muntazar karena ia dianggap hilang
secara misterius, sejak ia dalam usia kanak-kanak. Dia akan
kembali lagi ke dunia dan memenuhinya dengan keadilan,
sebagaimana bumi ini dipenuhi oleh kecurangan. Demikian
menurut keyakinan pengikut Syi'ah Isna 'Asyariyyah. Aliran
ini sejak berdirinya sampai hilangnya Imam ke- 12, tampaknya
kurang terorganisasikan. Akan tetapi, demikian Gibb dan
Kramers menjelaskan bahwa dalam perkembangan selanjutnya,
aliran ini pernah mengalami kemajuan pesat, terutama setelah
berdirinya dinasti Safawiyah dimana para penguasanya
mengklaim bahwa diri mereka adalah masih keturunan Musa
al-Kazim. Mereka menjadikan ajaran sekte ini sebagai mazhab
resmi pemerintahan Safawi di Persia. Pada masa Syah Isma'il,
ia memerintahkan kepada para Khatib dan Mu'azzin mengubah
formula khutbah dan azannya, yaitu dengan menyebutkan
nama-nama kedua belas Imam mereka dalam khutbah dan
menambahkan kalimat [kata-kata Arab] dalam azannya, formula
semacam ini tentunya dimaksudkan untuk menunjukkan ciri khas
kesyi'ahan.37

C. BEBERAPA AJARAN POKOK SYI'AH YANG BERKAITAN
DENGAN PAHAM MAHDI ATAU MAHDIISME

Bahasan ini penulis batasi pada ajaran pokok Syi'ah yang
berkaitan erat dengan doktrin Mahdiisme, yaitu pada masalah
Imamah, al-Gaibah, dan 'Aqidah ar-Raj'ah.

1. MASALAH KEIMAMAN

Masalah keimaman bagi kaum Syi'ah adalah sangat fundamental,
terutama bagi Syi'ah Isna 'Asyariyyah atau Syi'ah Dua belas.
Masalah keimaman, mereka jadikan sebagai rukun atau saka
guru agama, dan nas-nas keimaman, mereka pandang sebagai
mutawatir. Oleh karena ia merupakan anugerah Tuhan yang
harus diberikan kepada hamba-Nya, maka yang demikian itu
merupakan kewajiban Tuhan baik secara rasional maupun
tekstual.

Secara rasional, seorang Imam harus mengayomi ummat atau
memelihara kemaslahatannya serta melindunginya dari berbagai
kezaliman dan kemaksiatan. Selain itu seorang imam juga
harus menjaga kelestarian Syari'at Islam dari usaha-usaha
pemalsuan, dan oleh sebab itu, perlu adanya seorang Mufassir
(Imam) dari sisi Tuhan guna menafsirkan dan mengambil hukum
dari ayat-ayat al-Quran.38 Alasan kedua ini senada dengan
argumen tentang kehadiran al-Mahdi al-Ma'hud dalam
Ahmadiyah, yang dipandang sebagai Mujaddid atau penafsir
al-Quran sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman.

Secara tekstual, keimaman Syi'ah adalah didasarkan pada
hadis Gadir Khum, yang diyakini sebagai mutawatir. Di Gadir
Khum inilah menurut aliran ini, Nabi bersama-sama sahabatnya
beristirahat sepulang mereka dari menunaikan ibadah haji
dana di tempat ini, Nabi di depan mereka, menunjuk 'Ali ibn
Abi Talib sebagai penggantinya. Salah satu di antara
riwayatnya ialah apa yang diriwayatkan oleh at-Tabrani dalam
al-Kabir:

" ... Ya Allah! Barangsiapa yang beriman padaku dan
membenarkan aku hendaknya ia menjadikan 'Ali ibn Abi Talib
sebagai pemimpinnya, maka sesungguhnya kepemimpinannya
adalah kepemimpinanku, dan kepemimpinanku adalah
kepemimpinan Allah."

Dengan nas semacam ini, keimaman itu diberikan secara
berkesinambungan dari imam yang satu kepada imam yang lain,
dan oleh karenanya keimaman itu tidak akan keluar dari
keturunan Ahlul-Bait.

Tradisi keimaman Syi'ah Isna 'Asyariyyah, tampaknya masih
berjalan terus sampai sekarang, terutama dalam melaksanakan
tugas-tugas keimaman yaitu perlu diangkatnya seorang
Mandataris Imam, selama Imam Mahdi itu belum muncul kembali.
Jabatan ini dalam dekade terakhir dipegang oleh Ayatullah
Ruhullah Khumaini. Menurut pendapatnya, ajaran para imam
adalah sejajar dengan al-Quran yang wajib ditaati dan
dilaksanakan. Selama Imam Mahdi belum muncul, ia diwakili
oleh seorang mandataris yang berhak. Kedudukan al-Mahdi
dalam pandangan Syi'ah disejajarkan dengan Rasulullah,
sebagaimana dinyatakan dalam riwayat Jafar: "Barangsiapa
mengakui semua imam dan mengingkari Imam Mahdi, dia seperti
mengakui semua nabi tetapi ia mengingkari Nabi Muhammad.39

2. MASALAH KEGAIBAN IMAM

Masalah kegaiban imam dalam kepercayaan Syi'ah berkaitan
erat dengan kepercayaan tentang akan kembalinya imam-imam
Syi'ah yang telah wafat kedunia, yang diistilahkan dengan
[kata-kata Arab].Kepercayaan ini bermula dari suatu anggapan
bahwa imam yang mereka cintai itu tidak mati, tetapi hanya
menghilang untuk sementara waktu. Hal ini mengingatkan kita
pada pernyataan Ibn Saba' sewaktu 'Ali ibn Abi Talib wafat,
ia menyatakan:

"Seandainya kalian membawa otak 'Ali kepadaku seribu kali,
aku tidak akan membenarkan kematiannya"40

Imam itu mempunyai masa kegaiban. "Apabila telah sampai
kepadamu," demikian kata Abu Ja'far, "berita tentang
kegaiban imam dari seorang yang (mempercayai) hal itu, maka
janganlah kalian mengingkarinya."41 Demikianlah kepercayaan
kaum Syi'ah terhadap imam mereka.

Teori tentang kegaiban imam, tampaknya dicipta untuk
mempertahunkan eksistensi suatu aliran tertentu yang
terancam kehancuran, akibat persaingan ketat diantara
sekte-sekte yang ada saat itu. Dengan demikian teori
tersebut lebih bersifat politis daripada bersifat keagamaan,
karena aliran ini menghadapi masa kevakuman imam yang cukup
serius. Semula kaum Syi'ah hanya bersikap menunggu, akan
tetapi kemudian muncul ide baru bagaimana cara berkomunikasi
dengan seorang imam yang sedang gaib. Ide tersebut muncul
bersamaan dengan timbulnya ambisi tokoh-tokoh non-Ahlul Bait
yang ingin memainkan peranan imam sesudah Imam Muhammad ibn
Hasan al-'Askari. Kemudian muncullah dua macam teori tentang
al-Bab dan teori mengenai Mandataris Imam.

Teori tentang al-Bab, bermula dari aliran Syaikhiyyah yang
mengajarkan bahwa Imam Mahdi itu selalu mengejawantah dan
muncul di setiap tempat dalam wujud seorang laki-laki yang
disebut sebagai al-Mu'minul-Kamil atau al-Bab atau al-Wali.
Teori ini kemudian dikembangkan oleh 'Ali Muhammad
asy-Syirazi bekas murid al-Kazim ar-Rasti penganut aliran
tersebut. Muhammad Abu Zahrah menjelaskan, bahwa asy-Syirazi
mengaku dirinya adalah al-Bab (pintu perantara) antara
[kata-kata Arab] (Imam Mahdi yang sedang gaib) dengan kaum
Syi'ah yang ingin mendapat ilmu atau petunjuk darinya.42
Akhimya lahirlah aliran baru yang dikenal sebagai aliran
al-Babiyyah.

Teori kedua adalah tentang Mandataris Imam, tampaknya teori
ini adalah pengembangan dari teori yang pertama diatas.
Hanya saja teori kedua ini berasal dari 'Ali ibn Muhammad
as-Samin, ia mengaku telah menyodorkan secarik kertas yang
telah ditandatangani oleh al-Mahdi, kepada Muhammad al-Hasan
sewaktu as-Samiri akan meninggal, ia memberitahukan kepada
Muhammad al-Hasan, bahwa al-Mahdi tidak akan muncul kembali
sampai datang saat yang telah ditentukan oleh Tuhan, yaitu
sesudah hati manusia menjadi beku dan kecurangan telah
merajalela di atas bumi.43 Sehingga dalam kepercayaan
tersebut terdapat istilah al-Gaibah as-Sugra atau gaib
sementara, dimana al Mahdi mempunyai empat orang duta, dan
duta yang terakhir adalah as-Samiri. Kedua, al-Gaibah
al-Kubra yaitu gaib untuk waktu yang lama. Selama al-Mahdi
absen, ia diwakili oleh seorang yang dikenal sebagai
Mandataris Imam, dan jabatan ini merupakan peringkat pertama
dalam hirarki Syi'ah Dua belas.

3. MASALAH 'AQIDAH AR-RAJ'AH

Masalah 'Aqidah ar-Raj'ah yaitu kepercayaan Syi'ah, tentang
akan kembalinya seorang imam yang telah wafat, adalah
bermula dari kepercayaan orang-orang Yahudi terhadap kisah
'Uzair dan kisah Nabi Harun. Mereka berkeyakinan, bahwa Nabi
Harun dibunuh oleh Nabi Musa di padang Tih, karena
kedengkiannya kepada Nabi Harun. Sementara kaum Yahudi
mengatakan bahwa Harun akan kembali lagi ke dunia, sedangkan
yang lain berkeyakinan bahwa ia tidak wafat, dia hanya gaib
dan akan kembali lagi.44 Adanya kesamaan antara kepercayaan
kaum Yahudi dengan kepercayaan Syi'ah, sangat dimungkinkan
sesudah kedua belah pihak terjadi kontak langsung secara
akrab. Diantara penulis Muslim seperti: Muhammad Abu Zahrah,
Ahmad Amin, Ihsan Ilahi Zahir, berpendapat bahwa 'Aqidah
Raj'ah tersebut diterima kaum Syi'ah lewat Ibn Saba' dan
ajaran golongan Saba'iyyah.

Akan tetapi, Muhammad al-Bahi mengajukan argumen psikologis
tentang terbentuknya 'Aqidah Raj'ah di kalangan kaum Syi'ah.
Menurut pendapatnya, kepercayaan tersebut bermula dari
keyakinan yang didasarkan pada kecintaan kaum Syi'ah
terhadap imam-imam mereka yang telah wafat. Akibat kesedihan
yang memuncak, kecintaan mereka semakin mendalam, dan mereka
amat mendambakan kehadiran imam-imam yang mereka cintai itu.
Akhimya mereka ragu-ragu akan kematiannya, dia hanya absen
dan mereka tetap ingin menunggunya. Karena kecintaan yang
kuat, lahirlah perenungan yang kuat pula, sekalipun
kadang-kadang apa yang diyakininya itu bertolak belakang
dengan kenyataan yang sebenarnya. Selanjutnya dijelaskan
bahwa perenungan yang mengasyikkan jiwa disertai dengan
keinginan kuat untuk menjumpai seorang (imam) yang dicintai
itu, kemudian beralihlah dari kegaiban kepada harapan akan
kehadirannya kembali, dan akhirnya terbentuklah 'Aqidah
Raj'ah di kalangan kaum Syi'ah.45

Ketegangan jiwa akibat wafatnya seorang pemimpin yang
dicintai, sering menimbulkan perubahan sikap atau tingkah
laku seseorang, apabila ketegangan tersebut sulit diatasi.
Keadaan semacam ini rupanya pernah dialami oleh 'Umar ibn
Khattab sewaktu mendengar berita Rasulullah wafat. Ia tidak
mengakui Nabi telah wafat, dengan pedang terhunus ia
mengancam siapa saja yang berani mengatakan bahwa Nabi telah
tiada. Akan tetapi, perubahan sikap demikian itu, tampaknya
hanya bersifat sementara. Kasus seperti apa yang dialami
'Umar tersebut, rupanya banyak pula dialami oleh manusia
lainnya. Dan bahkan jauh sebelum agama Yahudi lahir, bangsa
Chaldea sudah pernah mengalami kasus seperti itu, yaitu
tidak mau mengakui kematian Qabil sewaktu dibunuh oleh
saudaranya, Habil. Malahan diyakini, ia akan kembali lagi ke
dunia. Demikian pula halnya dengan kaum Nasrani, mereka
meyakini bahwa Yesus yang mati di tiang salib, bangkit
kembali dan terus naik ke langit dan duduk di sisi Tuhan,
dia akan datang kembali ke dunia untuk memenuhi bumi dengan
kedamaian dan kesucian.

Dari keterangan diatas, dapatlah disimpulkan bahwa pendapat
al-Bahi tersebut memandang berpengaruhnya ajaran Yahudi di
kalangan Syi'ah hanyalah sebagai faktor yang mempercepat
proses lahirnya 'aqidah Raj'ah saja, sedangkan kepercayaan
seperti itu merupakan gejala umum jiwa manusia dan tidak
terbatas pada sekelompok manusia tertentu. Adapun munculnya
'Aqidah Raj'ah dalam suatu kelompok, terbatas pada para
pencinta pimpinan atau imam, mereka menderita kesedihan yang
hebat sebagai akibat wafatnya pimpinan yang dicintai
tersebut.

Masalah al-Gaibah yang berkaitan erat dengan 'Aqidah
ar-Raj'ah tidak bisa dipisahkan dari kepercayaan Syi'ah
terhadap al-Mahdi. Tokoh ini merupakan idola pemimpin Syi'ah
yang ditunggu-tunggu kehadirannya oleh penganut Syi'ah
Duabelas. Rupanya sekte ini saja yang masih gigih
mempertahankan paham Mahdi, sedangkan sekte-sekte lainnya
yang semula memiliki kepercayaan yang serupa semakin lama
semakin memudar bersama dengan memudarnya pengaruh
sekte-sekte tersebut. Tetapi tidak demikian halnya dengan
sekte Syi'ah Zaidiyyah. Sekte ini secara tegas menolak paham
Mahdi, kecuali golongan al-Jarudiyyah yang merupakan sub
sekte Syi'ah Zaidiyyah yang telah menyimpang jauh dari
doktrin kezaidiyyahannya.

Dengan demikian, aliran Syi'ah dalam perjalanan sejarahnya,
banyak dipengaruhi oleh ajaran-ajaran non-Islam dan hanya
Syi'ah Zaidiyyah yang masih menunjukkan keortodokannya, bila
dibandingkan dengan sekte Syi'ah lainnya. Keterbukaan sikap
kaum Syi'ah dalam menghadapi penetrasi budaya dan
kepercayaan non-Islam yang pernah berakar dalam suatu
masyarakat sebelum Islam datang, agaknya merupakan salah
satu faktor penyebab tergesemya ajaran Islam ortodoks dalam
kehidupan beragama di satu pihak, dan di pihak lain faktor
terbentuknya paham Mahdi dengan berbagai macam versinya.

Kemahdian Syi'ah Tujuh tampak lebih nyata daripada kemahdian
Syi'ah Dua belas, sehingga sekte yang disebut belakangan ini
mencipta teori tentang al-Bab dan teori tentang Mandataris
Imam, dengan demikian ide kemahdiannya lebih lama bertahan
daripada yang lain.

Catatan kaki:
1 Keberadaan Ibn Saba' dalam sejarah, tampaknya menjadi
masalah yang kontroversial, sementara penulis-penulis
Islam modem ada yang tidak meyakini keberadaannya.
Pendapat ini senada dengan pendapat Montgomery Watt
dalam salah satu karyanya, memandang Ibn Saba' sebagai
mitos bikinan kaum Sunni. Pernyataan ini berbeda dengan
pengakuan penulis-penulis Muslim terdahulu baik dari
kalangan Syi'ah maupun Sunni. Seperti: at-Tabari,
al-Mahdi Lidinillah Ahmad, al-Syahrastani,
Ibnul-Asir dan lain-lainnya. Sedang dan penulis-penulis
Muslim belakangan, antara lain: Ahmad Syalabi, Ahmad Amin
dan Abu Zahrah, mereka pada dasarnya mengakui keberadaan
Ibn Saba' seperti halnya Sayyid Amir' Ali dari kalangan
Syi'ah. Kaum Syi'ah pada umumnya mengakui keberadaannya
namun mereka tidak mengakuinya sebagai kelompok Syi'ah.
Dalam kaitan ini, Ahmad Syalabi menandaskan, adanya
sebuah buku yang berjudul 'Abdullah ibn Saba' yang ditulis
oleh Dekan Fakultas Ushuluddin di Irak, Murtada al-Askari.
Pengarang buku ini mencoba membuktikan kebenaran pendapatnya
dengan berbagai alasan atau argumen. Menurut pendapatnya
bahwa Abdullah ibn Saba' yang ada didalam sejarah Islam itu
hanya cerita bohong cerita itu telah diciptakan oleh seorang
yang bernama Saif ibn 'Umar yang meninggal 170 tahun
sesudah Hijrah.L Riwayatnya ini bertentangan dengan
kebanyakan riwayat yang lain. Tampaknya penulis buku
tersebut, juga membawa kebohongan, yang penting, demikian
Ahmad Syalabi, bukan masalah nama, akan tetapi kebenaran
tokoh sesat dan menyesatkan itu memang benar-benar ada.
Demikianlah komentar Syalabi menaggapi pendapat diatas,
dalam bukunya, Mausu'atut-Tarikh al-Islami
wal-Hadaratul-Islamiyyah, vol.III, hlm. 145-146.
2 Donaldson op. cit., hlm. 230.
3 Ahmad Amin, Duhal-Islam,vol.III, selanjutnya disebut
Duhal-Islam III (Kairo: Maktabah an-Nahdah al-Misriyyah,
1964), hlm. 235-6.
4 H.A.R. Gibb and Kramers, Eds., Shorter Encyclopaedia
Islam, (Leiden E. J. Brill, 1947), hlm. 310.
5 Ahmad Amin, Fajrul-Islam, selanjutnya disebut
Fajrul-Islam, (Singapura Sulaiman al-Mar'i 1965), hlm. 270.
6 Al-Mahdi Lidinillah Ahmad, al-Munyah wal 'Amal fi
Syarhil-Milal wan Nihal, ed. Dr. Mahmud Jawad Masykur,
Beirut: Darul-Fikr, 1979), hlm. 81.
7 Maulana Muhammad 'Ali, Mirza Ghulam Ahmah of Qadian, His
Life and Mission, (Lahore: Ahmadiyah Anjuman Isha'at Islam,
1959), hlm. 17.
8 Donaldson, op.cit., hlm. 32.
9 Ibnul-Asir, al-Kamil fit-Tarikh, vol II,
(Darus-Sadir, 1965), hlm. 317.
10 Syed Amir 'Ali, Api Islam, terj. HB. Jassin,
(Jakarta: Bulan Bintang, 1978), hlm. 471.
11 Donaldson, op. cit., hlm. 55.
12 Syarafuddin al-Musawi, Dialog Sunnah dan Syi'ah,
terj. Muhammad al-Baqir, (Bandung: Mizan, 1983), hlm. 140.
13 Muhammad Abu Zahrah, Tarikhul-Mazahibul-Islamiyyah,
vol. I, (Daril Fikril-'Arabi, tt), hlm. 36.
14 Fajrul-Islam, op. cit., hlm. 266-7.
15 Pada prinsipnya kaum Syi'ah tidak: mau mengakui golongan
Saba'iyyah sebagai sektenya, tetapi kaum Sunni pada umurnnya
memandang golongan Saba'iyyah sebagai Syi'ah.
16 Ihsan Ilahi Zahir, asy-Syi'ah wat-Tasyayyu selanjutnya
disebut asy-Syi'ah (Lahore: Iradah Tarjumann as-Sunnah,
1984), hlm. 163.
17 Fazlur Rahman, Islam, (Chicago and London: University of
Chicago Press, 1977), hlm. 171.
18 Asy-Syiah, op.cit., hlm. 186.
19 Ibid., hlm. 187.
20 Ahmad Syalabi, Mausu'atut-Tarikhul-Islami
wal-Hadaratul-Islamiyyah, vol. II, (Qahirah: Maktabah
an-Nahdatul-MƵsriyyah, 1978), hlm. 147-8.
21 Al-Mahdi Lidinillah Ahmad, op. cit., hlm. 82.
22 Abul-Fath 'Abdul-Karim asy-Syahrastani, selanjutnya
disebut asy- Syahrastani, al-Milal wan-Nihal, (Beirut:
Darul-Fikr, tt.), hlm. 149.
23 Ibid., hlm. 151.
24 Duhal Islam III, op. cit., hlm. 271-2.
25 Abdur Rahman ibn Khaldun, Muqaddimah Ibn Khaldun,
selanjutnya disebut Ibn Khaldun, (Darul-Fikr, tt.),
hlm. 200.
26 Ibid., hlm. 162.
27 'Ali adalah satu-satunya putera Husain yang selamat dari
pembantaian tentara Yazid, sewaktu Husain terbunuh di padang
Karbela Sikapnya yang pemurung dan sesing menangis karena
teringat mendiang ayahnya, maka ia memusatkan aktivitasnya
pada ibadah, oleh karenanya ia dijuluki dengan [kata-kata
Arab]. Pengikut aliran ini kemudian membuat cerita fiksi
bahwa 'Ali sewaktu remajanya pernah pergi ke Hajar al-Aswat
bersama Muhammad ibn al-Hanafiyyah, keduanya untuk meminta
petunjukTuhan, siapa diantara keduanya yang lebih berhak
menjadi imam. Saat 'Ali ibn Husain berdoa, terguncanglah
Hajar al-Aswad itu, sebagai pertanda bahwa dirinyalah yang
lebih berhak menjadi imam sesudah ayahnya.
28 Donaldson, op. cit., hlm. 123.
29 Asy-Syi'ah, op. cit., hlm. 216.
30 Aliran Huramiyah ini membolehkan pengikutnya hidup
bergelimang dalam kesenangan dan kemewahan serta membebaskan
pengikutnya dari segala macam kewajiban. Aliran ini juga
dikenal dengan al-Babikiyyah, pemimpirmya terbunuh dalam
pemberontakan melawan pemerintahan al-Mu'tasim dari dinasti
'Abbasiyyah.
31 Al-Mahdi Lidinillah Ahmad, op. cit., hlm.96-7.
32 Fazlur Rahman, op. cit., hlm. 175-6.
33 As-Syi'ah. op. cit., hlm. 235.
34 Muhammad Abu Zahrah, op. Cit., hlm. 62-3.
35 Ahmad Syalabi, op. Cit., hlm. 190.
36 Asy-Syahrastani. op. cit., hlm. 170.
37 Gibb dan Kramers, eds., op. cit., hlm. 188.
38 Donaldson, op. Cit., hlm. 305-6.
39 As-Syi'ah, op. Cit., hlm. 362.
40 Fajrul-Islam, op. cit., hlm. 270.
41 Duhal-Islam, III, op. cit., hlm. 218.
42 Muhammad Aba Zahrah, op. cit., hlm. 239.
43 Asy Syi'ah, op. cit., hlm. 352.
44 Muhammad al-Bahi, al-Janibul-Ilahi min Tafkiril-Islami,
(Qahirah: Daru Ihya'il-Kutubil-'Arabiyyah, 'Isa al-Babi
al-Halabi, 1948), hlm. 88.
45 Ibid, hlm. 88-9.


-------------------------------------------------
Faham Mahdi Syi'ah dan Ahmadiyah dalam Perspektif
Drs. Muslih Fathoni, M.A.
Edisi 1 Cetakan 1 (1994)
PT. RajaGrafindo Persada
Jln. Pelepah Hijau IV TN.I No.14-15
Telp. (021) 4520951 Kelapa Gading Permai
Jakarta Utara 14240

Cetakan Kedua Sejarah Nabi Muhammad

PENGANTAR CETAKAN KEDUA (1/9)

Pembela-pembela Orientalis - lxxiv;
Sebab-sebab kesalahan Orientalis - lxxvi;
Buku biografi penulis-penulis Islam sebagai pegangan - lxxvi;
Orientalis dan ketentuan-ketentuan agama - lxxviii;
Qur'an tidak diubah-ubah - lxxviii;
Pendapat Muir - lxxx;
Penulisan Qur'an pada zaman Nabi - lxxxi;
Bila berselisih kembali kepada Nabi - lxxxii;
Pengumpulan Qur'an langkah pertama - lxxxiii;
Mushaf Usman -lxxxiv;
Persatuan Islam zaman Usman - lxxxv;
Mushaf Usman cermat dan lengkap - lxxxvi;
Cara yang sebenarnya dalam mengadakan penyelidikan - xc;
Fitnah sekitar ayan - xci;
Kembali kepada ilmu pengetahuan - xcii;
Kadang ilmu yang tidak cukup - xciii;
Menyerang Muhammad karena gagal menyerang ajarannya - xcv;
Pertimbangan mereka yang aktif dalam soal-soal Islam - xcvii;
Selawat kepada Nabi - xciii;
Menangkis kecaman - c;
Buku-buku sejarah dan buku-buku hadis - c;
Kontradiksi - ci;
Faktor waktu, ketika cerita itu ditulis - ciii;
Pengaruh pertentangan politik dalam dunia Islam - civ;
Penghimpunan hadis - civ;
Kriterium yang sebenarnya tentang Hadis - cv;
Penghimpunan hadis pada masa Ma'mun - cvii;
Cerita-cerita tidak masuk akal dan tidak ilmiah - cx;
Qur'an dan mujizat - cx;
Mujizat terbesar - cxi;
Iman menurut pemuka-pemuka Islam - cxiii;
Orang-orang mukmin pada masa Nabi - cxiii;
Gharaniq dan Tabuk - cxiv;
Metoda saya dalam penyelidikan ini - cxvi;
Penyelidikan-penyelidikan Orientalis - cxviii;
Kaum Muslimin dan penyelidikan - cxix.


CETAKAN pertama buku ini habis lebih cepat dari yang diduga
semula- Buku yang diterbitkan 10.000 buah ini sepertiganya
telah habis dipesan ketika sedang dicetak, sedang selebihnya
habis dalam waktu tiga bulan setelah buku terbit. Sambutan
yang diberikan atas buku ini menunjukkan adanya perhatian
dari para pembaca, terutama terhadap penyelidikan yang saya
lakukan ini. Oleh karena itu, untuk cetakan ulangan sudah
harus dipikirkan, isinya perlu ditinjau kembali. Timbulnya
sambutan itu sudah tentu karena persoalan yang ada dalam
buku ini. Boleh jadi metoda yang dipergunakan memecahkan
persoalan-persoalan itu berpengaruh juga atas adanya
sambutan ini. Tetapi apapun yang menjadi sebabnya, saya
bertanya-tanya di dalam hati ketika terpikir akan menghadapi
cetakan kedua ini: Akan diulang sajakah seperti apa adanya
pada cetakan pertama, tanpa ditambah atau dikurangi, ataukah
harus saya tinjau lagi dengan mengadakan revisi, penambahan
atau koreksi lagi, mana-mana yang ternyata perlu dilakukan?

Beberapa orang yang sangat saya hargai pendapatnya
menyarankan supaya cetakan kedua ini sama seperti cetakan
pertama, supaya mereka yang memiliki dua macam cetakan ini
sama adanya, dan supaya waktu buat sayapun cukup terluang
dalam mengadakan koreksi dan revisi nanti sesudah cetakan
kedua ini. Saran ini hampir-hampir saya terima. Kalaupun
saran ini juga yang saya terima, tentu cetakan kedua ini
sejak beberapa bulan yang lalu sudah berada di tangan
pembaca. Tetapi saya masih maju-mundur juga menerima
pendapat ini. Kemudian karena beberapa pertimbangan,
akhirnya saya mengambil keputusan, bahwa memang penting
rasanya mengadakan revisi dan tambahan.

Pertimbangan pertama dalam hal ini ialah karena adanya
bebeberapa catatan yang. diberikan oleh Syaikh Muhammad
Mustafa al-Maraghi, Rektor Al-Azhar, kepada saya, ketika
sebagian yang sudah selesai dicetak dari buku ini saya
perlihatkan kepadanya. Kemudian beliau berkenan pula
memberikan kata perkenalan seperti pada permulaan buku ini.

Sesudah kemudian buku ini terbit, beberapa pengarang dan
ulamapun memberikan pula tanggapan dan pendapat mereka yang
baik sekali melalui surat-surat kabar, majalah dan radio.
Semua tanggapan itu disertai dengan pujian yang tidak
sedikit pula ditujukan kepada usaha yang saya lakukan ini,
yang saya rasa tidak seharusnya saya menerima semua
penghargaan demikian itu. Dan yang pertama saya harapkan
ialah jangan sampai buku tentang Nabi ini tercampur dengan
hal-hal yang kurang layak, sementara pengarang dengan
karangannya itu berhasil, sehingga dapat diterima dan dapat
dihargai orang. Oleh karena itu saya sangat memperhatikan
sekali tanggapan itu.

Adanya penghargaan dan sambutan demikian ini agaknya telah
menyebabkan timbulnya beberapa pendapat yang bertolak dari
masalah-masalah pelengkap saja, yang tak ada hubungannya
dengan sumber-sumber yang terdapat -atau dengan pokok
persoalan yang ada- dalam buku ini. Misalnya ada yang
meminta supaya beberapa masalah yang dianggap perlu
dijelaskan diberi penjelasan lebih lanjut; yang lain minta
supaya diteliti lebih banyak lagi mengenai pemakaian
kata-kata perangkai, atau juga diusulkan mengenai beberapa
kata pengganti yang lain, yang menurut hemat para pengusul
akan lebih tepat dalam mengungkapkan arti yang dikehendaki.
Tetapi ada lagi pendapat yang lebih ditujukan pada inti
pembahasan dalam buku ini, yang membuat saya lebih banyak
lagi memikirkan dan mengoreksinya. Alangkah besarnya
keinginan saya supaya cetakan kedua ini lebih mendekati
kehendak sarjana-sarjana dan ulama itu semua, meskipun saya
sendiri menganggap penyelidikan ini -seperti saya sebutkan
dalam prakata - hanya sebagai langkah permulaan saja dalam
bidang ini dengan bahasa Arab yang diolah menurut metoda
baru.

Hal lain yang menyebabkan saya mengadakan revisi dan
tambahan-tambahan dari cetakan pertama ini ialah setelah
saya membaca kembali buku tersebut dan sesudah mempelajari
beberapa pendapat yang saya terima, yang memang sebagian
sudah saya sadari ketika saya sedang menulis. Kemudian juga
saya dapat menerima alasan perlunya mengadakan pengamatan
lebih luas sesuai dengan yang diusulkan itu guna meyakinkan
mereka sehubungan dengan pendapat dan argumentasi saya.
Koreksi-koreksi yang saya lakukan untuk maksud tersebut
telah membawa beberapa masalah yang patut direnungkan dan
patut digarap oleh setiap penulis biografi Nabi.

Kalaupun pada cetakan pertama itu saya bergembira karena
adanya tanggapan-tanggapan yang sampai kepada saya, maka
sekali inipun lebih-lebih lagi saya merasa gembira, karena
saya masih akan mengadakan penyelidikan-penyelidikan itu
lebih luas lagi. Hal ini saya anggap perlu sekali mengingat
studi pendahuluan yang saya lakukan ini menyangkut sejarah
hidup seorang manusia terbesar yang pernah dikenal sejarah,
Nabi dan Rasul terakhir -selawat dan salam baginya.

Pada pengantar cetakan kedua ini saya berusaha mengadakan
pengamatan terhadap beberapa tanggapan tentang metoda
penyelidikan yang saya kemukakan pada cetakan pertama. Pada
bagian terakhir buku ini saya tambahkan dua pasal mengenai
beberapa persoalan yang secara sepintas-lalu sudah
disinggung juga pada bagian penutup cetakan pertama.
Demikian juga beberapa revisi dan tambahan saya lakukan
mana-mana yang saya anggap perlu direvisi dan ditambah dalam
teks buku itu, sesuai dengan koreksi-koreksi dan beberapa
pertimbangan saya sekalian guna melengkapi penyelidikan dan
memenuhi beberapa tanggapan yang sudah pernah disampaikan.

PENGANTAR CETAKAN KEDUA (2/9)

PEMBELA-PEMBELA ORIENTALIS

Yang mula-mula saya terima sebagai sanggahan ialah adanya
sebuah karangan yang disampaikan kepada saya oleh seorang
penulis bangsa Mesir yang menyebutkan, bahwa itu adalah
sebuah terjemahan bahasa Arab dari artikel yang
dikirimkannya ke sebuah majalah Orientalis berbahasa Jerman,
sebagai kritik atas buku ini. Artikel ini tidak saya siarkan
dalam surat-surat kabar berbahasa Arab, karena isinya hanya
berupa kecaman-kecaman yang tidak berdasar. Oleh karena itu
terserah kepada penulisnya jika mau menyiarkannya sendiri.
Saya rasa nama orang itupun tidak perlu disebutkan dalam
pengantar ini dengan keyakinan bahwa dia sudah akan mengenal
identitasnya sendiri sesudah membaca sanggahannya itu dimuat
di sini. Artikel itu ringkasnya ialah bahwa penyelidikan
yang saya lakukan tentang peri hidup Muhammad ini bukan
suatu penyelidikan ilmiah dalam arti modern, sebab saya
hanya berpegang pada sumber berbahasa Arab saja, tidak pada
penyelidikan-penyelidikan kaum Orientalis sebangsa Weil,
Goldziher, Noldeke dan yang lain; bukan mengambil dari hasil
penyelidikan mereka, dan karena saya menganggap Qur'an
sebagai dokumentasi sejarah yang sudah tidak diragukan,
padahal studi Orientalis-orientalis itu menunjukkan bahwa
Qur'an sudah diubah dan diganti-ganti setelah Nabi wafat dan
pada permulaan sejarah Islam, dan bahwa nama Nabipun pernah
diganti. Semula bernama "Qutham" atau "Quthama." Sesudah itu
kemudian diganti menjadi "Muhammad" untuk disesuaikan dengan
bunyi ayat, "Dan membawa berita gembira kedatangan seorang
rasul sesudahku, namanya Ahmad," sebagai isyarat yang
terdapat dalam Injil tentang nabi yang akan datang sesudah
Isa. Dalam keterangannya penulis itu menambahkan bahwa
penyelidikan kaum Orientalis itu juga menunjukkan, bahwa
Nabi menderita penyakit ayan, dan apa yang disebut wahyu
yang diturunkan kepadanya itu tidak lain adalah akibat
gangguan ayan yang menyerangnya; dan bahwa gejala-gejala
penyakit ayan itu terlihat pada Muhammad ketika sedang tidak
sadarkan diri, keringatnya mengalir disertai kekejangan,
dari mulutnya keluar busa. Bila sudah kembali ia sadar
dikatakannya bahwa yang diterimanya itu adalah wahyu, lalu
dibacakan kepada mereka yang percaya pada apa yang diduga
wahyu dari Tuhan itu.

Sebenarnya saya tidak perlu menghiraukan karangan semacam ini
atau pada sanggahannya kalau tidak karena penulisnya itu
seorang Mesir dan Muslim pula. Andaikata penulisnya itu
seorang Orientalis atau misi penginjil, akan saya biarkan
saja ia bicara menurut kehendak nafsunya sendiri. Apa yang
sudah saya sebutkan pada kata pengantar dan dalam teks buku
ini sudah cukup sebagai argumen yang akan menggugurkan
pendapat mereka itu. Bagaimanapun juga penulis surat ini
adalah sebuah contoh dari sebagian pemuda-pemuda dan
orang-orang Islam yang begitu saja menyambut baik segala apa
yang dikatakan pihak Orientalis dan menganggapnya sebagai
hasil yang benar-benar ilmiah, dan berdasarkan kebenaran
sepenuhnya. Kepada mereka itulah tulisan ini saya alamatkan
sekadar mengingatkan tentang adanya kesalahan yang telah
dilakukan oleh kaum Orientalis. Ada pula kaum Orientalis
yang memang jujur dalam penyelidikan mereka, meskipun
tentunya tidak lepas dari kesalahan juga.

SEBAB-SEBAB KESALAHAN ORIENTALIS

Kesalahan-kesalahan demikian itu terselip dalam
penyelidikannya kadang disebabkan oleh kurang telitinya
memahami liku-liku bahasa Arab, kadang juga karena adanya
maksud yang tersembunyi dalam jiwa sebagian sarjana-sarjana
itu, yang tujuannya hendak menghancurkan sendi-sendi salah
satu agama, atau semua agama. Ini adalah sikap
berlebih-lebihan yang selayaknya dihindarkan saja oleh
kalangan cendekiawan. Kita melihat ada juga orang-orang
Kristen yang begitu terdorong oleh sikap berlebih-lebihan
ini sampai mereka mengingkari bahwa Isa pernah ada dalam
sejarah.

Yang lain kita lihat bahkan sudah melampaui batas-batas yang
berlebih-lebihan itu dengan menulis tentang Isa yang sudah
gila misalnya.

Timbulnya pertentangan antara gereja dengan negara di Eropa
itu telah pula menyebabkan kalangan sarjana di satu pihak
dan kaum agama di pihak lain hendak saling mencari
kemenangan dalam merebut kekuasaan.

Sebaliknya Islam, sama sekali bersih dari adanya
pertentangan serupa itu. Hendaknya mereka yang mengadakan
penyelidikan di kalangan Islam dapat menghindarkan diri dari
kekuasaan nafsu demikian ini, yang sebenarnya telah menimpa
orang-orang Barat, dan sering menodai penyelidikan
sarjana-sarjana itu. Juga hendaknya mereka berhati-hati bila
mempelajari hasil yang datang dari Barat, yang berhubungan
dengan masalah-masalah agama. Segala sesuatu yang telah
dilukiskan oleh para sarjana sebagai suatu kebenaran,
hendaklah diteliti lebih seksama. Banyak di antaranya yang
sudah terpengaruh begitu jauh, sehingga telah menimbulkan
permusuhan antara orang-orang agama dengan kalangan ilmu
pengetahuan secara terus-menerus selama berabad-abad.

BUKU BIOGRAFI PENULIS-PENULIS ISLAM SEBAGAI PEGANGAN

Apa yang disebutkan dalam karangan si Muslim berbangsa Mesir
yang saya ringkaskan itu sudah suatu bukti perlunya ada
sikap berhati-hati. Pertama-tama ia menyalahkan saya karena
saya masih berpegang pada sumber-sumber Arab sebagai dasar
penyelidikan saya; dan ini memang tidak saya bantah.
Sungguhpun begitu buku-buku kalangan Orientalis seperti yang
saya sebutkan dalam bibliografi, juga saya pakai. Akan
tetapi, sumber-sumber bahasa Arab selalu saya pergunakan
sebagai dasar pertama dalam pembahasan ini. Dan
sumber-sumber bahasa Arab ini jugalah yang dipakai sebagai
dasar pertama dalam penyelidikan-penyelidikan kaum
Orientalis itu semua.

Ini wajar sekali. Sumber-sumber tersebut - terutama sekali
Qur'an - adalah yang pertama sekali bicara tentang sejarah
hidup Nabi. Sudah tentu itu jugalah yang menjadi pegangan
dan dasar bagi setiap orang yang ingin menulis biografi
dengan gaya dan metoda sekarang. Baik Noldeke, Goldziher,
Weil, Sprenger, Muir atau Orientalis lain semua berpegang
pada sumber-sumber itu juga dalam penyelidikan mereka,
seperti yang saya lakukan ini. Dalam membuat pengamatan dan
kritik, mereka menempuh cara yang bebas, demikian juga saya.
Dalam hal ini juga saya tidak mengabaikan beberapa sumber
buku Kristen yang lama-lama yang menjadi pegangan mereka,
sekalipun mereka masih terdorong oleh fanatisma agama
Kristen, dan samasekali bukan oleh kritik ilmiah.

Kalau ada orang yang menyalahkan saya karena saya tidak
terikat oleh kesimpulan-kesimpulan yang dicapai oleh
beberapa kaum Orientalis itu, atau karena saya sampai hati
tidak sependapat dengan mereka dan malah melakukan kritik
terhadap mereka, maka dalam bidang ilmiah yang demikian itu
adalah suatu pendirian yang beku sekali, yang tidak kurang
pula beku dan kolotnya dari pendirian yang bagaimanapun
dalam bidang intelektual ataupun rohani. Saya rasa tidak
seorangpun dari kalangan Orientalis itu sendiri yang akan
menyetujui sikap beku demikian itu dalam bidang ilmiah.
Andaikata ada di antara mereka yang dapat membenarkan sikap
demikian, tentu ia akan membenarkan juga sikap beku itu
dalam bidang agama.

Tidak saya inginkan dua hal ini terjadi, baik terhadap diri
saya atau terhadap siapapun yang mau bekerja dalam
penyelidikan sejarah atas dasar ilmiah yang sebenarnya. Apa
yang saya lakukan dan saya ajak orang lain akan dapat
melakukannya ialah mengamati hasil-hasil studi yang
dilakukan orang lain itu. Apabila ia sudah merasa puas oleh
pembuktian yang meyakinkan, maka tentu itulah yang kita
harapkan. Kalau tidak, lakukan sendirilah supaya ia dapat
mencapai kebenaran itu dengan keyakinan bahwa ia sudah
berhasil.

Ke arah inilah saya ajak pemuda-pemuda kita dan orang-orang
yang mengagumi hasil-hasil penyelidikan kaum Orientalis itu,
dan memang ini pula yang saya lakukan. Saya akan merasa
sudah mendapat imbalan sebagai orang yang berhasil,
sekiranya pekerjaan ini memang sudah tepat; sebaliknya saya
akan dapat dimaafkan kiranya sebagai orang yang mencari
kebenaran dengan tujuan yang jujur dalam menempuh jalan itu,
jika ternyata saya salah.

ORIENTALIS DAN KETENTUAN-KETENTUAN AGAMA

Sebagai bukti atas agitasi beberapa kaum Orientalis yang
ingin menghancurkan ketentuan-ketentuan agama dengan
cara-cara mereka yang berlebih-lebihan itu, ialah pendirian
si Muslim bangsa Mesir yang telah menulis karangan tersebut,
bahwa hasil-hasil studi kaum Orientalis itu menunjukkan,
bahwa Qur'an bukan suatu dokumen sejarah yang tidak boleh
diragukan, dan bahwa Qur'an sudah diubah-ubah setelah Nabi
wafat dan pada masa permulaan sejarah Islam, yang dalam pada
itu lalu ditambah-tambah dengan ayat-ayat untuk
maksud-maksud agama atau politik. Saya bukan mau berdiskusi
atau mau berdebat dengan penulis karangan itu dari segi
Islamnya dia sebagai Muslim - atas apa yang sudah ditentukan
oleh Islam, bahwa Qur'an itu Kitabullah, yang takkan
dikaburkan oleh kepalsuan, baik pada mula diturunkan atau
kemudian sesudah itu. Dia sependirian dengan golongan
Orientalis, bahwa Qur'an dikarang oleh Muhammad, padahal dia
percaya juga, bahwa Kitab itu adalah wahyu Allah kepada
Muhammad seperti pendapat beberapa kaum Orientalis, dan
karena ingin menguatkan isi karangannya atas apa yang
disebutnya itu, dikatakannya bahwa Qur'an menurut pendapat
yang sebagian lagi adalah memang wahyu Allah. Jadi baiklah
saya berdialog dengan dia menurut bahasanya atas dasar dia
sebagai orang yang berpikir bebas, yang tidak mau terikat
oleh apapun kecuali atas dasar yang telah dibuktikan oleh
ilmu pengetahuan dengan cara yang benar-benar meyakinkan.


PENGANTAR CETAKAN KEDUA (3/9)

QUR'AN TIDAK DIUBAH-UBAH

Ia percaya sekali kepada kaum Orientalis dan kepada pendapat
mereka. Memang ada segolongan Orientalis yang beranggapan
seperti yang dikutipnya itu. Tetapi anggapan mereka ini
menunjukkan, bahwa mereka terdorong oleh maksud-maksud yang
tak ada hubumgannya dengan ilmu pengetahuan. Hal ini sudah
bukan rahasia lagi. Sebagai bukti, cukup apa yang mereka
katakan, bahwa versi "Dan membawa berita gembira dengan
kedatangan seorang rasul sesudahku, namanya Ahmad," yang
tersebut dalam Surah "Ash-Shaf" (61) ayat 6, adalah
ditambahkan sesudah Nabi wafat untuk dijadikan bukti atas
kenabian Muhammad dan Risalahnya dari Kitab-kitab Suci
sebelum Qur'an.

Andaikata yang berpendapat demikian ini dari kalangan
Orientalis yang benar-benar jujur demi ilmu pengetahuan,
tentu tidak perlu mereka bersandar kepada argumen semacam
itu, yang bagi mereka juga berlaku bahwa Bible itu memang
kitab-kitab suci. Kalau mereka memang mau mencari ilmu untuk
ilmu, tentu akan mereka samakan Qur'an dengan kitab-kitab
suci sebelum itu, yakni menganggapnya sebagai kitab suci
juga dengan menyebutkan, bahwa kitab-kitab suci yang sudah
dikenal orang sebelumnya adalah wajar, tak perlu lagi
dibantah, atau menganggap kitab-kitab suci itu semua sama
juga dengan anggapannya terhadap Qur'an. Terhadap keduanya
itu pendapat merekapun tentu akan serupa, dengan menentukan
bahwa itu diadakan untuk maksud-maksud agama atau politik
tertentu juga. Andaikata memang ini pendapat mereka, maka
selesailah sudah logika demikian itu. Pendirian mereka
tentang adanya perubahan dalam Qur'an untuk maksud politik
dan agama tadi, dengan sendirinya jadi gugur pula.

Bagi kaum Muslimin tidak perlu lagi mencari bukti dari
kitab-kitab suci itu sesudah raja-raja mereka dan imperium
Kristen seperti juga bangsa-bangsa lain di dunia menerimanya
dan sesudah orang-orang Kristen sendiri beramai-ramai,
bahkan bangsa-bangsa secara keseluruhan, menganut agama
Islam. Inilah logika yang berlaku bagi penyelidikan yang
murni ilmiah.

Adapun adanya anggapan Taurat dan Injil itu kitab-kitab suci
dan menolak sifat demikian pada Qur'an, maka ini adalah hal
yang tak diterima oleh ilmu pengetahuan. Sedang pendapat
yang mengatakan adanya perubahan dalam Qur'an karena bukti
dari Taurat dan Injil, itu adalah omong-kosong, tidak pula
diterima oleh logika.

Dari kalangan Orientalis yang paling fanatik sekalipun,
sedikit sekali yang beranggapan seburuk itu. Sebaliknya
sebagian besar mereka sepakat, bahwa Qur'an yang kita baca
sekarang ini, itu jugalah Qur'an yang dibacakan oleh
Muhammad kepada kaum Muslimin semasa hidupnya, tanpa suatu
cacat atau perubahan apapun.- Mereka ingin sekali
menyebutkan hal ini, sekalipun - dalam bentuk kritik -
mereka kaitkan dengan cara pengumpulan Qur'an dan penyusunan
Surah-surah yang pembahasannya tentu di luar bidang studi
ini.

Kalangan Muslimin sendiri yang sudah mencurahkan
perhatiannya dalam seluk-beluk ilmu Qur'an telah menerima
bermacam-macam kritik dan sudah mereka tangkis pula. Adapun
yang mengenai masalah yang kita hadapi sekarang ini,
cukuplah kalau kita mengutip apa yang dikatakan kalangan
Orientalis sendiri dalam hal ini, kalau-kalau si Muslim
Mesir yang kita bicarakan artikelnya itu akan merasa puas,
demikian juga mereka yang masih berpikir semacam dia akan
turut merasa puas pula.

PENDAPAT MUIR

Sebenarnya apa yang diterangkan kaum Orientalis dalam hal
ini cukup banyak. Tapi coba kita ambil apa yang ditulis oleh
Sir William Muir dalam The Life of Mohammad supaya mereka
yang sangat berlebih-lebihan dalam memandang sejarah dan
dalam memandang diri mereka yang biasanya menerima begitu
saja apa yang dikatakan orang tentang pemalsuan dan
perubahan Qur'an itu, dapat melihat sendiri. Muir adalah
seorang penganut Kristen yang teguh dan yang juga berdakwah
untuk itu. Diapun ingin sekali tidak akan membiarkan setiap
kesempatan melakukan kritik terhadap Nabi dan Qur'an, dan
berusaha memperkuat kritiknya.

Ketika bicara tentang Qur'an dan akurasinya yang sampai
kepada kita, Sir William Muir menyebutkan:

"Wahyu Ilahi itu adalah dasar rukun Islam. Membaca beberapa
ayat merupakan bagian pokok dari sembahyang sehari-hari yang
bersifat umum atau khusus. Melakukan pembacaan ini adalah
wajib dan sunah, yang dalam arti agama adalah perbuatan baik
yang akan mendapat pahala bagi yang melakukannya. Inilah
sunah pertama yang sudah merupakan konsensus. Dan itu pula
yang telah diberitakan oleh wahyu. Oleh karena itu yang
hafal Qur'an di kalangan Muslimin yang mula-mula itu banyak
sekali, kalau bukan semuanya. Sampai-sampai di antara mereka
pada awal masa kekuasaan Islam itu ada yang dapat membaca
sampai pada ciri-cirinya yang khas. Tradisi Arab telah
membantu pula mempermudah pekerjaan ini. Kecintaan mereka
luar biasa besarnya. Oleh karena untuk memburu segala yang
datang dari para penyairnya tidak mudah dicapai, maka
seperti dalam mencatat segala sesuatu yang berhubungan
dengan nasab keturunan dan kabilah-kabilah mereka, sudah
biasa pula mereka mencatat sajak-sajak itu dalam lembaran
hati mereka sendiri. Oleh karena itu daya ingat (memori)
mereka tumbuh dengan subur. Kemudian pada masa itu mereka
menerima Qur'an dengan persiapan dan dengan jiwa yang hidup.
Begitu kuatnya daya ingat sahabat-sahabat Nabi, disertai
pula dengan kemauan yang luar biasa hendak nnenghafal
Qur'an, sehingga mereka, bersama-sama dengan Nabi dapat
mengulang kembali dengan ketelitian yang meyakinkan sekali
segala yang diketahui dari pada Nabi sampai pada waktu
mereka membacanya itu."

"Sungguhpun dengan tenaga yang sudah menjadi ciri khas daya
ingatnya itu, kita juga bebas untuk tidak melepaskan
kepercayaan kita bahwa kumpulan itu adalah satu-satunya
sumber. Tetapi ada alasan kita yang akan membuat kita yakin,
bahwa sahabat-sahabat Nabi menulis beberapa macam naskah
selama masa hidupnya dari berbagai macam bagian dalam
Qur'an. Dengan naskah-naskah inilah hampir seluruhnya Qur'an
itu ditulis. Pada umumnya tulis-menulis di Mekah sudah
dikenal orang jauh sebelum masa kerasulan Muhammad. Tidak
hanya seorang saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan
kitab-kitab dan surat-surat itu. Tawanan perang Badr yang
dapat mengajarkan tulis-menulis di Mekah sudah dikenal orang
jauh sebelum masa kerasulan Muhammad. Tidak hanya seorang
saja yang diminta oleh Nabi untuk menuliskan kitab-kitab dan
surat-surat itu. Tawanan perang Badr yang dapat mengajarkan
tulis-menulis kepada kaum Anshar di Medinah, sebagai
imbalannya mereka dibebaskan. Meskipun penduduk Medinah
dalam pendidikan tidak sepandai penduduk Mekah, namun banyak
juga di antara mereka yang pandai tulis-menulis sejak
sebelum Islam. Dengan adanya kepandaian menulis ini, mudah
saja kita mengambil kesimpulan tanpa salah, bahwa ayat-ayat
yang dihafal menurut ingatan yang sangat teliti itu, itu
juga yang dituliskan dengan ketelitian yang sama pula."

"Kemudian kitapun mengetahui, bahwa Muhammad telah mengutus
seorang sahabat atau lebih kepada kabilah-kabilah yang sudah
menganut Islam, supaya mengajarkan Qur'an dan mendalami
agama. Sering pula kita membaca, bahwa ada utusan-utusan
yang pergi membawa perintah tertulis mengenai
masalah-masalah agama itu. Sudah tentu mereka membawa apa
yang diturunkan oleh wahyu, khususnya yang berhubungan
dengan upacara-upacara dan peraturan-peraturan Islam serta
apa yang harus dibaca selama melakukan ibadat."

PENULISAN QUR'AN PADA ZAMAN NABI

"Qur'an sendiripun menentukan adanya itu dalam bentuk
tulisan. Begitu juga buku-buku sejarah sudah menentukan
demikian, ketika menerangkan tentang Islamnya Umar, tentang
adanya sebuah naskah Surat ke-20 [Surah Taha] milik
saudaranya yang perempuan dan keluarganya. Umar masuk Islam
tiga atau empat tahun sebelum Hijrah. Kalau pada masa
permulaan Islam wahyu itu ditulis dan saling dipertukarkan,
tatkala jumlah kaum Muslimin masih sedikit dan mengalami
pelbagai macam siksaan, maka sudah dapat dipastikan sekali,
bahwa naskah-naskah tertulis itu sudah banyak jumlahnya dan
sudah banyak pula beredar, ketika Nabi sudah mencapai puncak
kekuasaannya dan kitab itu sudah menjadi undang-undang
seluruh bangsa Arab."

BILA BERSELISIH KEMBALI KEPADA NABI

"Demikian halnya Qur'an itu semasa hidup Nabi, dan demikian
juga halnya kemudian sesudah Nabi wafat; tetap tercantum
dalam kalbu kaum mukmin. Berbagai macam bagiannya sudah
tercatat belaka dalam naskah-naskah yang makin hari makin
bertambah jumlahnya itu. Kedua sumber itu sudah seharusnya
benar-benar cocok. Pada waktu itu pun Qur'an sudah sangat
dilindungi sekali, meskipun pada masa Nabi masih hidup,
dengan keyakinan yang luarbiasa bahwa itu adalah kalam
Allah. Oleh karena itu setiap ada perselisihan mengenai
isinya, untuk menghindarkan adanya perselisihan demikian
itu, selalu dibawa kepada Nabi sendiri. Dalam hal ini ada
beberapa contoh pada kita: 'Amr bin Mas'ud dan Ubayy bin
Ka'b membawa hal itu kepada Nabi. Sesudah Nabi wafat, bila
ada perselisihan, selalu kembali kepada teks yang sudah
tertulis dan kepada ingatan sahabat-sahabat Nabi yang
terdekat serta penulis-penulis wahyu."

PENGUMPULAN QUR'AN LANGKAH PERTAMA

"Sesudah selesai menghadapi peristiwa Musailima - dalam
perang Ridda - penyembelihan Yamama telah menyebabkan kaum
Muslimin banyak yang mati, di antaranya tidak sedikit mereka
yang telah menghafal Qur'an dengan baik. Ketika itu Umar
merasa kuatir akan nasib Qur'an dan teksnya itu; mungkin
nanti akan menimbulkan keragu-raguan orang bila mereka yang
telah menyimpannya dalam ingatan itu, mengalami suatu hal
lalu meninggal semua. Waktu itulah ia pergi menemui Khalifah
Abu Bakr dengan mengatakan: "Saya kuatir sekali pembunuhan
terhadap mereka yang sudah hafal Qur'an itu akan terjadi
lagi di medan pertempuran lain selain Yamama dan akan banyak
lagi dari mereka yang akan hilang. Menurut hemat saya,
cepat-cepatlah kita bertindak dengan memerintahkan
pengumpulan Qur'an."

"Abu Bakr segera menyetujui pendapat itu. Dengan maksud
tersebut ia berkata kepada Zaid bin Thabit, salah seorang
Sekretaris Nabi yang besar: "Engkau pemuda yang cerdas dan
saya tidak meragukan kau. Engkau adalah penulis wahyu pada
Rasulullah s.a.w. dan kau mengikuti Qur'an itu; maka
sekarang kumpulkanlah."

"Oleh karena pekerjaan ini terasa tiba-tiba sekali di luar
dugaan, mula-mula Zaid gelisah sekali. Ia masih meragukan
gunanya melakukan hal itu dan tidak pula menyuruh orang lain
melakukannya. Akan tetapi akhirnya ia mengalah juga pada
kehendak Abu Bakr dan Umar yang begitu mendesak. Dia mulai
berusaha sungguh-sungguh mengumpulkan surah-surah dan
bagian-bagiannya dari segenap penjuru, sampai dapat juga ia
mengumpulkan yang tadinya di atas daun-daunan, di atas batu
putih, dan yang dihafal orang. Setengahnya ada yang
menambahkan, bahwa dia juga mengumpulkannya dari yang ada
pada lembaran-lembaran, tulang-tulang bahu dan rusuk unta
dan kambing. Usaha Zaid ini mendapat sukses."

"Ia melakukan itu selama dua atau tiga tahun terus-menerus,
mengumpulkan semua bahan-bahan serta menyusun kembali
seperti yang ada sekarang ini, atau seperti yang dilakukan
Zaid sendiri membaca Qur'an itu di depan Muhammad, demikian
orang mengatakan. Sesudah naskah pertama lengkap adanya,
oleh Umar itu dipercayakan penyimpanannya kepada Hafsha,
puterinya dan isteri Nabi. Kitab yang sudah dihimpun oleh
Zaid ini tetap berlaku selama khilafat Umar, sebagai teks
yang otentik dan sah.

"Tetapi kemudian terjadi perselisihan mengenai cara membaca,
yang timbul baik karena perbedaan naskah Zaid yang tadi atau
karena perubahan yang dimasukkan ke dalam naskah-naskah itu
yang disalin dari naskah Zaid. Dunia Islam cemas sekali
melihat hal ini. Wahyu yang didatangkan dari langit itu
"satu," lalu dimanakah sekarang kesatuannya? Hudhaifa yang
pernah berjuang di Armenia dan di Azerbaijan, juga melihat
adanya perbedaan Qur'an orang Suria dengan orang Irak."


PENGANTAR CETAKAN KEDUA (4/9)

MUSHAF USMAN

"Karena banyaknya dan jauhnya perbedaan itu, ia merasa
gelisah sekali. Ketika itu ia lalu meminta agar Usman turun
tangan. "Supaya jangan ada lagi orang berselisih tentang
kitab mereka sendiri seperti orang-orang Yahudi dan
Nasrani." Khalifahpun dapat menerima saran itu. Untuk
menghindarkan bahaya, sekali lagi Zaid bin Thabit dimintai
bantuannya dengan diperkuat oleh tiga orang dari Quraisy.
Naskah pertama yang ada di tangan Hafsha lalu dibawa, dan
cara membaca yang berbeda-beda dari seluruh persekemakmuran
Islam itupun dikemukakan, lalu semuanya diperiksa kembali
dengan pengamatan yang luarbiasa, untuk kali terakhir.
Kalaupun Zaid berselisih juga dengan ketiga sahabatnya dari
Quraisy itu, ia lebih condong pada suara mereka mengingat
turunnya wahyu itu menurut logat Quraisy, meskipun dikatakan
wahyu itu diturunkan dengan tujuh dialek Arab yang
bermacam-macam."

"Selesai dihimpun, naskah-naskah menurut Qur'an ini lalu
dikirimkan ke seluruh kota persekemakmuran. Yang selebihnya
naskah-naskah itu dikumpulkan lagi atas perintah Khalifah
lalu dibakar. Sedang naskah yang pertama dikembalikan kepada
Hafsha."

PERSATUAN ISLAM ZAMAN USMAN

"Maka yang sampai kepada kita adalah Mushhaf Usman. Begitu
cermat pemeliharaan atas Qur'an itu, sehingga hampir tidak
kita dapati -bahkan memang tidak kita dapati- perbedaan
apapun dari naskah-naskah yang tak terbilang banyaknya, yang
tersebar ke seluruh penjuru dunia Islam yang luas itu.
Sekalipun akibat terbunuhnya Usman sendiri - seperempat abad
kemudian sesudah Muhammad wafat - telah menimbulkan adanya
kelompok-kelompok yang marah dan memberontak sehingga dapat
menggoncangkan kesatuan dunia Islam - dan memang demikian
adanya - namun Qur'an yang satu, itu juga yang selalu tetap
menjadi Qur'an bagi semuanya. Demikianlah, Islam yang hanya
mengenal satu kitab itu ialah bukti yang nyata sekali, bahwa
apa yang ada di depan kita sekarang ini tidak lain adalah
teks yang telah dihimpun atas perintah Usman yang malang
itu.

"Agaknya di seluruh dunia ini tak ada sebuah kitabpun selain
Qur'an yang sampai duabelas abad lamanya tetap lengkap
dengan teks yang begitu murni dan cermatnya. Adanya cara
membaca yang berbeda-beda itu sedikit sekali untuk sampai
menimbulkan keheranan. Perbedaan ini kebanyakannya terbatas
hanya pada cara mengucapkan huruf hidup saja atau pada
tempat-tempat tanda berhenti, yang sebenarnya timbul hanya
belakangan saja dalam sejarah, yang tak ada hubungannya
dengan Mushhaf Usman."

"Sekarang, sesudah ternyata bahwa Qur'an yang kita baca
ialah teks Mushaf Usman yang tidak berubah-ubah, baiklah
kita bahas lagi: Adakah teks ini yang memang persis
bentuknya seperti yang dihimpun oleh Zaid sesudah adanya
persetujuan menghilangkan segi perbedaan dalam cara membaca
yang hanya sedikit sekali jumlahnya dan tidak pula penting
itu? Segala pembuktian yang ada pada kita meyakinkan sekali,
bahwa memang demikian. Tidak ada dalam berita-berita lama
atau yang patut dipercaya yang melemparkan kesangsian
terhadap Usman sedikitpun, bahwa dia bermaksud mengubah
Qur'an guna memperkuat tujuannya. Memang benar, bahwa Syi'ah
kemudian menuduh bahwa dia mengabaikan beberapa ayat yang
mengagungkan Ali. Akan tetapi dugaan ini tak dapat diterima
akal. Ketika Mushhaf ini diakui, antara pihak Umawi dengan
pihak Alawi (golongan Mu'awiya dan golongan Ali) belum
terjadi sesuatu perselisihan faham. Bahkan persatuan Islam
masa itu benar-benar kuat tanpa ada bahaya yang
mengancamnya. Di samping itu juga Ali belum melukiskan
tuntutannya dalam bentuknya yang lengkap. Jadi tak adalah
maksud-maksud tertentu yang akan membuat Usman sampai
melakukan pelanggaran yang akan sangat dibenci oleh kaum
Muslimin itu. Orang-orang yang memahami dan hafal benar
Qur'an seperti yang mereka dengar sendiri waktu Nabi
membacanya mereka masih hidup tatkala Usman mengumpulkan
Mushhaf itu. Andaikata ayat-ayat yang mengagungkan Ali itu
sudah ada, tentu terdapat juga teksnya di tangan
pengikut-pengikutnya yang banyak itu. Dua alasan ini saja
sudah cukup untuk menghapus setiap usaha guna menghilangkan
ayat-ayat itu. Lagi pula, pengikut-pengikut Ali sudah
berdiri sendiri sesudah Usman wafat, lalu mereka mengangkat
Ali sebagai Pengganti."

"Dapatkah diterima akal - pada waktu kemudian mereka sudah
memegang kekuasaan - bahwa mereka akan sudi menerima Qur 'an
yang sudah terpotong-potong, dan terpotong yang disengaja
pula untuk menghilangkan tujuan pemimpin mereka?! Sungguhpun
begitu mereka tetap membaca Qur'an yang juga dibaca oleh
lawan-lawan mereka. Tak ada bayangan sedikitpun bahwa mereka
akan menentangnya. Bahkan Ali sendiripun telah memerintahkan
supaya menyebarkan naskah itu sebanyak-banyaknya. Malah ada
diberitakan, bahwa ada beberapa di antaranya yang ditulisnya
dengan tangannya sendiri."

"Memang benar bahwa para pemberontak itu telah membuat
pangkal pemberontakan mereka karena Usman telah mengumpulkan
Qur'an lalu memerintahkan supaya semua naskah dimusnahkan
selain Mushhaf Usman. Jadi tantangan mereka ditujukan kepada
langkah-langkah Usman dalam hal itu saja, yang menurut
anggapan mereka tidak boleh dilakukan. Tetapi di balik itu
tidak seorangpun yang menunjukkan adanya usaha mau mengubah
atau menukar isi Qur'an. Tuduhan demikian pada waktu itu
adalah suatu usaha perusakan terang-terangan. Hanya kemudian
golongan Syi'ah saja yang mengatakan itu untuk kepentingan
mereka sendiri."

"Sekarang kita dapat mengambil kesimpulan dengan meyakinkan,
bahwa Mushhaf Usman itu tetap dalam bentuknya yang persis
seperti yang dihimpun oleh Zaid bin Thabit, dengan lebih
disesuaikan bahan-bahannya yang sudah ada lebih dulu dengan
dialek Quraisy. Kemudian menyisihkan jauh-jauh bacaan-bacaan
selebihnya yang pada waktu itu terpencar-pencar di seluruh
daerah itu."

MUSHAF USMAN CERMAT DAN LENGKAP

"Tetapi sungguhpun begitu masih ada suatu soal penting lain
yang terpampang di depan kita, yakni: adakah yang
dikumpulkan oleh Zaid itu merupakan bentuk yang sebenarnya
dan lengkap seperti yang diwahyukan kepada Muhammad?
Pertimbangan-pertimbangan di bawah ini cukup memberikan
keyakinan, bahwa itu adalah susunan sebenarnya yang telah
selengkapnya dicapai waktu itu:"

"Pertama - Pengumpulan pertama selesai di bawah pengawasan
Abu Bakr. Sedang Abu Bakr seorang sahabat yang jujur dan
setia kepada Muhammad. Juga dia adalah orang yang sepenuhnya
beriman pada kesucian sumber Qur'an, orang yang hubungannya
begitu erat sekali dengan Nabi selama waktu duapuluh tahun
terakhir dalam hayatnya, serta kelakuannya dalam khilafat
dengan cara yang begitu sederhana, bijaksana dan bersih dari
gejala ambisi, sehingga baginya memang tak adalah tempat
buat mencari kepentingan lain. Ia beriman sekali bahwa apa
yang diwahyukan kepada kawannya itu adalah wahyu dari Allah,
sehingga tujuan utamanya ialah memelihara pengumpulan wahyu
itu semua dalam keadaan murni sepenuhnya."

Pernyataan semacam ini berlaku juga terhadap Umar yang sudah
menyelesaikan pengumpulan itu pada masa khilafatnya.
Pernyataan semacam ini juga yang berlaku terhadap semua kaum
Muslimin waktu itu, tak ada perbedaan antara para penulis
yang membantu melakukan pengumpulan itu, dengan seorang
mu'min biasa yang miskin, yang memiliki wahyu tertulis di
atas tulang-tulang atau daun-daunan, lalu membawanya semua
kepada Zaid. Semangat mereka semua sama, ingin
memperlihatkan kalimat-kalimat dan kata-kata seperti yang
dibacakan oleh Nabi, bahwa itu adalah risalah dari Tuhan.
Keinginan mereka hendak memelihara kemurnian itu sudah
menjadi perasaan semua orang, sebab tak ada sesuatu yang
lebih dalam tertanam dalam jiwa mereka seperti rasa kudus
yang agung itu, yang sudah mereka percayai sepenuhnya
sebagai firman Allah. Dalam Qur'an terdapat
peringatan-peringatan bagi barangsiapa yang mengadakan
kebohongan atas Allah atau menyembunyikan sesuatu dari
wahyuNya. Kita tidak akan dapat menerima, bahwa pada kaum
Muslimin yang mula-mula dengan semangat mereka terhadap
agama yang begitu rupa mereka sucikan itu, akan terlintas
pikiran yang akan membawa akibat begitu jauh membelakangi
iman."

"Kedua - Pengumpulan tersebut selesai selama dua atau tiga
tahun sesudah Muhammad wafat. Kita sudah melihat beberapa
orang pengikutnya, yang sudah hafal wahyu itu di luar
kepala, dan setiap Muslim sudah hafal sebagian, juga sudah
ada serombongan ahli-ahli Qur'an yang ditunjuk oleh
pemerintah dan dikirim ke segenap penjuru daerah Islam guna
melaksanakan upacara-upacara dan mengajar orang memperdalam
agama. Dari mereka semua itu terjalinlah suatu mata rantai
penghubung antara wahyu yang dibaca Muhammad pada waktu itu
dengan yang dikumpulkan oleh Zaid. Kaum Muslimin bukan saja
bermaksud jujur dalam mengumpulkan Qur'an dalam satu Mushhaf
itu, tapi juga mempunyai segala fasilitas yang dapat
menjamin terlaksananya maksud tersebut, menjamin
terlaksananya segala yang sudah terkumpul dalam kitab itu,
yang ada di tangan mereka sesudah dengan teliti dan sempurna
dikumpulkan."

"Ketiga - Juga kita mempunyai jaminan yang lebih dapat
dipercaya tentang ketelitian dan kelengkapannya itu, yakni
bagian-bagian Qur'an yang tertulis, yang sudah ada sejak
masa Muhammad masih hidup, dan yang sudah tentu jumlah
naskahnyapun sudah banyak sebelum pengumpulan Qur'an itu.
Naskah-naskah demikian ini kebanyakan sudah ada di tangan
mereka semua yang dapat membaca. Kita mengetahui, bahwa apa
yang dikumpulkan Zaid itu sudah beredar di tangan orang dan
langsung dibaca sesudah pengumpulannya. Maka logis sekali
kita mengambil kesimpulan, bahwa semua yang terkandung dalam
bagian-bagian itu, sudah tercakup belaka. Oleh karena itu
keputusan mereka semua sudah tepat pada tempatnya. Tidak ada
suatu sumber yang sampai kepada kita yang menyebutkan, bahwa
para penghimpun itu telah melalaikan sesuatu bagian, atau
sesuatu ayat, atau kata-kata, ataupun apa yang terdapat di
dalamnya itu, berbeda dengan yang ada dalam Mushhaf yang
sudah dikumpulkan itu. Kalau yang demikian ini memang ada,
maka tidak bisa tidak tentu terlihat juga, dan tentu dicatat
pula dalam dokumen-dokumen lama yang sangat cermat itu; tak
ada sesuatu yang diabaikan sekalipun yang kurang penting."

"Keempat - Isi dan susunan Qur'an itu jelas sekali
menunjukkan cermatnya pengumpulan. Bagian-bagian yang
bermacam-macarn disusun satu sama lain secara sederhana
tanpa dipaksa-paksa atau dibuat-buat."

"Tak ada bekas tangan yang mencoba mau mengubah atau mau
memperlihatkan keahliannya sendiri. Itu menunjukkan adanya
iman dan kejujuran sipenghimpun dalam menjalankan tugasnya
itu. Ia tidak berani lebih daripada mengambil ayat-ayat suci
itu seperti apa adanya, lalu meletakkannya yang satu di
samping yang lain."

"Jadi kesimpulan yang dapat kita sebutkan dengan meyakinkan
sekali ialah, bahwa Mushhaf Zaid dan Usman itu bukan hanya
hasil ketelitian saja, bahkan - seperti beberapa kejadian
menunjukkan - adalah juga lengkap, dan bahwa penghimpunnya
tidak bermaksud mengabaikan apapun dari wahyu itu. Juga kita
dapat meyakinkan, berdasarkan bukti-bukti yang kuat, bahwa
setiap ayat dari Qur'an itu, memang sangat teliti sekali
dicocokkan seperti yang dibaca oleh Muhammad."

Panjang juga kita mengutip kalimat-kalimat Sir William Muir
seperti yang disebutkan dalam kata pengantar The Life of
Mohammad (p.xiv-xxix) itu. Dengan apa yang sudah kita kutip
itu tidak perlu lagi rasanya kita menyebutkan tulisan
Lammens atau Von Hammer dan Orientalis lain yang sama
sependapat. Secara positif mereka memastikan tentang
persisnya Qur'an yang kita baca sekarang, serta menegaskan
bahwa semua yang dibaca oleh Muhammad adalah wahyu yang
benar dan sempurna diterima dari Tuhan. Kalaupun ada
sebagian kecil kaum Orientalis berpendapat lain dan
beranggapan bahwa Qur'an sudah mengalami perubahan, dengan
tidak menghiraukan alasan-alasan logis yang dikemukakan Muir
dan sebagian besar Orientalis, yang telah mengutip dari
sejarah Islam dan dari sarjana-sarjana Islam, maka itu
adalah suatu dakwaan yang hanya didorong oleh rasa dengki
saja terhadap Islam dan terhadap Nabi.

Betapapun pandainya tukang-tukang tuduh itu menyusun
tuduhannya, namun mereka tidak dapat meniadakan hasil
penyelidikan ilmiah yang murni. Dengan caranya itu mereka
takkan dapat menipu kaum Muslimin, kecuali beberapa pemuda
yang masih beranggapan bahwa penyelidikan yang bebas itu
mengharuskan mereka mengingkari masa lampau mereka sendiri,
memalingkan muka dari kebenaran karena sudah terbujuk oleh
kepalsuan yang indah-indah. Mereka percaya kepada semua yang
mengecam masa lampau sekalipun pengecamnya itu tidak
mempunyai dasar kebenaran ilmiah dan sejarah.

CARA YANG SEBENARNYA DALAM MENGADAKAN PENYELIDIKAN

Sebenarnya kita dapat saja memberikan argumen-argumen
seperti yang dikemukakan oleh Sir Muir dan
Orientalis-orientalis lain, yang diambil dari sejarah Islam,
kemudian mengembalikan semua itu kepada sumbernya yang
semula. Tetapi kita sengaja mengutamakan kutipan itu dari
salah seorang Orientalis, mengingat pemuda-pemuda kita masih
sangat mendambakan segala yang datang dari Barat, tanpa
pengamatan lebih dalam. Ketelitian dalam penyelidikan ilmiah
dengan maksud baik hendak mencari kebenaran, seharusnya akan
mengantarkan orang ke jalan yang ditempuhnya itu semata-mata
untuk kebenaran, lepas dari segala pemalsuan. Seseorang yang
mau mengadakan penelitian harus menyelidiki benar-benar
sehingga ia sampai kepada kebenaran yang menjadi tujuannya
itu, tanpa terpengaruh oleh hawa nafsu dan tanpa teralang
oleh tradisi. Kaum Orientalis kadang memang berhasil mencari
kebenaran demikian, tapi kadang juga, karena tujuan-tujuan
tertentu, merekapun lalu menyimpang. Dan sebagian besar
memang begitu. Dalam hal-hal yang berhubungan dengan sejarah
Nabi kita mendapat kesempatan dalam buku ini mengadakan
penelitian lebih lanjut.

Baik juga kalau dalam kesempatan ini kita sebutkan bahwa
tugas seorang penyelidik tidak akan a priori menerima atau
menolak sesuatu masalah, sebelum penelitian atau
penyelidikannya itu benar-benar meyakinkan bahwa ia sudah
sepenuhnya puas dengan kenyataan yang dicapainya itu tanpa
ada kekurangan. Seorang ahli sejarah dalam hal ini tidak
berbeda dengan sarjana dalam ilmu pengetahuan lainnya atau
dalam bidang-bidang fisika. Penulis sejarah dalam hal ini
seharusnya mempelajari buku-buku Orientalis, juga buku-buku
sarjana-sarjana Islam.

Apabila untuk mencapai kebenaran dan pengetahuan itu kita
diharuskan mengadakan kritik dan pengamatan terhadap
hasil-hasil peninggalan penulis-penulis Arab dan
penulis-penulis Islam seperti dalam ilmu kedokteran,
astronomi, kimia dan sebagainya, lalu kita menolak mana yang
tidak dapat diterima oleh kritik ilmiah, dan menerima mana
yang dapat dibuktikan oleh cara-cara kritik demikian itu,
maka untuk mencapai kebenaran dan pengetahuan dalam bidang
sejarah inipun kita berkewajiban pula meneliti benar-benar,
sekalipun yang berhubungan dengan sejarah Nabi s.a.w.
Seorang penulis sejarah bukan hanya sekadar menyalin saja,
tapi juga harus membuat kritik terhadap yamg disalinnya itu.
Ia harus mengadakan penelitian guna mengetahui kebenaran
yang ada sesungguhnya. Kritik adalah langkah kepada
penelitian itu.

IImu dan pengetahuan adalah dasar kritik dan penelitian.
Sesudah kita mengadakan penelitian seperti yang kita
kutipkan mengenai Qur'an dan akurasinya, kita tinggalkan
dulu artikel si Muslim Mesir, yang begitu percaya atas
segala yang ditulis oleh Orientalis mengenai ayat-ayat yang
katanya ditambahkan ke dalam Qur'an, juga tentang nama Nabi
yang katanya Qutham atau Quthama itu. Kata-kata demikian ini
bukanlah karena terdorong oleh rasa kebenaran, melainkan
karena nafsu belaka.

PENGANTAR CETAKAN KEDUA (5/9)

FITNAH SEKITAR AYAN

Baiklah kita kembali sekarang pada titik persoalan terakhir
dalam sanggahan si Muslim Mesir itu. Dia menyebutkan, bahwa
hasil penyelidikan kaum Orientalis itu menunjukkan, bahwa
Nabi menderita penyakit ayan. Gejala-gejala demikian itu
tampak padanya ketika ia tidak sadarkan diri, keringatnya
mengucur dengan disertai kekejangan-kekejangan dan busa yang
keluar dari mulutnya. Apabila ia sudah sadar kembali, ia
lalu membacakan apa yang dikatakannya wahyu Tuhan kepadanya
itu - kepada orang-orang yang mempercayainya. Padahal yang
dikatakan wahyu itu tidak lain ialah akibat
serangan-serangan ayan tersebut.

KEMBALI KEPADA ILMU PENGETAHUAN

Menggambarkan apa yang terjadi pada Muhammad pada waktu
datangnya wahyu dengan cara yang demikian itu, dari segi
ilmiah adalah samasekali salah. Serangan penyakit ayan tidak
akan meninggalkan sesuatu bekas yang dapat diingat oleh si
penderita selama masa terjadinya itu. Bahkan sesudah ia
sadar kembali pun samasekali dia lupa apa yang telah terjadi
selama itu. Dia tidak ingat apa-apa lagi, apa yang terjadi
dan apa yang dilakukannya selama itu. Sebabnya ialah, segala
pekerjaan saraf dan pikirannya sudah menjadi lumpuh total.
Inilah gejala-gejala ayan yang dibuktikan oleh ilmu
pengetahuan. Jadi bukan yang dialami Nabi Muhammad selama
menerima wahyu. Bahkan selama itu inteleknya sedang dalam
puncak kesadarannya. Dengan sangat teliti sekali ia ingat
semua yang diterimanya dan sesudah itu dibacakannya kembali
kepada sahabat-sahabatnya.

Dengan kesadaran rohani yang besar itu, samasekali ia tidak
dibarengi oleh ketidaksadaran jasmani. Bahkan sebaliknya
yang terjadi, pada waktu itu Nabi sedang dalam puncak
kesadarannya yang biasa. Cukuplah kalau kita tunjukkan saja
pada apa yang kita sebutkan dalam buku ini tentang turunnya
Sarah al-Fath (48) yaitu ketika kaum Muslimin kembali dari
Mekah ke Medinah sesudah Perjanjian Hudaibiya.

Jadi ilmu pengetahuan dalam hal ini membantah bahwa Muhammad
dihinggapi penyakit ayan. Yang mengatakan demikian dari
kalangan Orientalispun hanya sebagian kecil saja. Mereka
itulah yang mengatakan bahwa Qur'an sudah diubah. Mereka
mengatakan begitu bukan karena ingin mencari kebenaran,
melainkan menurut dugaan mereka dengan demikian mereka mau
merendahkan martabat Nabi di mata segolongan kaum Muslimin.
Ataukah dengan kata-kata itu mereka mengira, bahwa mereka
telah menyebarkan keragu-raguan atas wahyu yang diturunkan
kepada Muhammad, sebab turunnya itu -menurut dugaan mereka-
waktu ia sedang mendapat serangan ayan? Kalau memang begitu,
ini adalah suatu kesalahan besar pada mereka, seperti sudah
kita sebutkan. Pendapat mereka inilah yang secara ilmiah
telah samasekali tertolak.

Kalau yang dipakai pedoman olelm kaum Orientalis demikian
itu adalah tujuan yang murni, tentu mereka tidak akan
membawa-bawa ilmu yang bertentangan dengan itu. Mereka
melakukan itu mau mengelabui orang-orang yang belum
penguasai pengetahuan tentang gejala-gejala ayan, dan mereka
yang cara berpikirnya masih sederhana yang sudah merasa puas
dengan apa yang telah dikatakan oleh kaum Orientalis itu,
tanpa mau bertanya-tanya kepada para ahli dari kalangan
kedokteran atau mau membaca buku-buku tentang itu. Kalau
saja mereka mau melakukan itu, sebenarnya tidak sulit buat
mereka untuk menemukan kesalahan kaum Orientalis itu -
disengaja atau tidak disengaja. Mereka akan melihat bahwa
kegiatan rohani dan intelek manusia akan sama sekali
tertutup selama terjadi krisis ayan. Sipenderita dibiarkan
dalam keadaan mekanik semata, bergerak-gerak seperti sebelum
mendapat serangan, atau meronta-ronta kalau serangannya itu
sudah bertambah keras sehingga dapat mengganggu orang lain.
Dalam pada itu, diapun kehilangan kesadarannya. Ia tidak
sadar apa yang diperbuatnya dan apa yang terjadi terhadap
dirinya. Ia seperti orang yang sedang tidur, tidak merasakan
gerak-geriknya sendiri. Bila itu sudah berlalu, iapun tidak
ingat apa-apa lagi.

KADANG ILMU YANG TIDAK CUKUP

Ini tentu berbeda dengan suatu kegiatan rohani yang begitu
kuat membawanya jauh ke alam ilahiah, dengan penuh kesadaran
dan suasana intelek yang meyakinkan. Apa yang diwahyukan
kepadanya itu, kemudian dapat diteruskan. Sebaliknya ayan,
melumpuhkan seluruh kesadaran manusia. Ia membawa orang
berada dalam tingkat mekanik, yang selama itu perasaan dan
kesadarannya menjadi hilang. Tidak demikian halnya dengan
wahyu, yang merupakan puncak ketinggian rohani, yang khusus
diberikan Tuhan kepada para nabi. Kepada mereka
kenyataan-kenyataan alam positif yang tertinggi itu
diberikan, supaya kemudian disampaikan kepada umat manusia.
Kadang ilmu pengetahuan sampai juga memahami beberapa
kenyataan-kenyataan itu, mengetahui ketentuan-ketentuan dan
rahasianya - sesudah lampau beberapa generasi dan beberapa
abad. Kadang juga ilmu pengetahuan belum dapat
menjangkaunya. Sungguhpun begitu itu adalah kenyataan
positif, yang dapat dimasuki hanya oleh hati nurani
orang-orang beriman, yang percaya kepada kebenarannya. Dalam
pada itu ada juga hati yang tetap tertutup rapat dan tidak
mengetahui atau karena memang tidak mau mengindahkannya.

Kita dapat mengerti bila Orientalis-orientalis itu berkata,
bahwa wahyu ialah suatu gejala psikologi tersendiri dalam
penilaian ilmu pengetahuan yang sampai ke tangan kita hingga
saat sekarang. Jadi, adalah hal yang tidak mungkin dapat
ditafsirkan dengan cara ilmu. Tetapi bagaimanapun juga
pendapat ini menunjukkan, bahwa pengetahuan kita - dengan
ruang lingkupnya yang luas - masih merasa terbatas akan
menafsirkan bagian terbesar dari gejala-gejala spiritual dan
psikologis itu. Buat ilmu pengetahuan ini bukan suatu cacat,
juga bukan hal yang aneh. Ilmu pengetahuan kita masih
terbatas dalam menafsirkan beberapa gejala alam yang dekat
pada kita. Kodrat matahari, bulan, bintang-bintang,
tata-surya dan lainnya dalam ilmu pengetahuan, masih
merupakan hipotesa-hipotesa penemuan. Semua benda cakrawala
ini sebagian ada yang dapat kita lihat dengan mata
telanjang, dan tidak sedikit pula yang masih tersembunyi,
yang baru akan dapat kita lihat bila menggunakan alat
peneropong. Sampai abad yang lalu banyak sekali
penemuan-penemuan yang masih dianggap sebagai suatu ciptaan
khayal belaka, tak ada jalan akan dapat dijelmakan depan
mata kita. Tetapi ternyata sekarang sudah menjadi kenyataan.
Malah kita menganggap sebagai hal yang mudah saja. Adanya
gejala-gejala spiritual dan psikologis sekarang menjadi
sasaran pengamatan para sarjana. Tetapi ini belum lagi dapat
dikuasai oleh ilmu, dan hukumnya yang positifpun juga belum
ditemukan.

Sering kita membaca tentang beberapa masalah yang sudah
diketahui oleh para sarjana dan sudah diterima. Tetapi
kemudian ternyata bahwa dalam hukum alam yang berlaku
menurut kaidah-kaidah ilmu pengetahuan belum lagi memberikan
arti yang meyakinkan. Psikologi misalnya, dalam menghadapi
beberapa masalah, secara umum masih belum mempunyai hukum
yang pasti. Kalau ini terjadi dalam kehidupan biasa, maka
langkah cepat-cepat mau menafsirkan gejala-gejala seluruh
hidup dengan cara ilmiah adalah suatu usaha yang memang
sia-sia saja, suatu penghamburan yang patut dicela.

MENYERANG MUHAMMAD KARENA GAGAL MENYERANG AJARANNYA

Datangnya wahyu yang pernah disaksikan oleh beberapa kaum
Muslimin selama masa hidup Muhammad - demikian juga Qur'an -
setiap dibacakan kepada mereka, ternyata menambah keteguhan
iman mereka. Di antara mereka itu terdapat juga orang Yahudi
dan Nasrani. Sesudah lama terjadi debat dan diskusi dengan
Nabi, kemudian merekapun mempercayai. Sekitar risalah dan
masalah waktu itu tak ada yang mereka tolak. Memang ada
segolongan orang-orang Quraisy yang berusaha menuduh hal itu
sebagai perbuatan sihir dan gila. Tetapi kemudian merekapun
mengakui, bahwa dia bukan tukang sihir dan bukan pula orang
gila. Merekapun lalu jadi pengikutnya dan beriman atas
ajakan itu. Inilah yang sudah pasti dan meyakinkan.

Jadi sekarang yang tak dapat diterima oleh ilmu, dan
bertentangan dengan kaidah-kaidah yang ilmiah ialah sikap
mengingkari terjadinya wahyu itu dan merendahkan orang yang
menerimanya disertai kecaman dengan pelbagai rupa. Inilah
yang justru bertentangan dengan ilmu.

Seorang sarjana yang sungguh-sungguh bertujuan mencari
kebenaran, tidak dapat berkata lain daripada suatu penegasan
bahwa apa yang telah dicapai oleh ilmu pengetahuan sampai
sekarang, masih terbatas sekali, belum dapat menguraikan
wahyu itu dengan cara ilmiah. Akan tetapi, begaimanapun
juga, ilmu tak dapat menolak terjadinya gejala-gejala wahyu,
seperti yang dilukiskan oleh sahabat-sahabat Nabi dan
penulis-penulis lain pada permulaan sejarah Islam itu.
Kalaupun ada yang mengingkarinya, ia berusaha mencari dalih
dengan menggunakan ilmu sebagai senjata yang sia-sia dengan
sikap keras kepala. Sikap keras kepala dengan ilmu
sebenarnya takkan pernah bertemu.

Kalau sikap yang menyedihkan ini harus menjurus kepada
sesuatu maka sesuatu itu ialah nafsu mereka yang keras
hendak menanamkan syak ke dalam hati orang tentang Islam.
Agama ini sendiri tidak dapat mereka serang. Mereka telah
menyaksikan, betapa kuat dan luhurnya agama ini, dengan
sifatnya yang sederhana dan serba mudah yang justru menjadi
dasar kekuatannya.

Oleh karena itu, mereka lalu menggunakan cara orang yang
lemah. Mereka tak mampu menyerang jejak yang sungguh besar
itu, mereka lalu menyerang orang yang meninggalkan jejak
itu. Ini adalah kelemahan yang tidak seharusnya menjadi
pegangan seorang sarjana. Dalam pada itu ia juga
bertentangan dengan hukum kodrat insani. Kodrat manusia
ialah memperhatikan jejak itu sendiri saja, menikmati
buahnya tanpa ia harus bersusah payah mencari-cari
asal-usulnya atau mencari-cari apa yang menyebabkan hal itu
terjadi atau tumbuh. Dengan demikian mereka tidak perlu
menyusahkan diri mencari-cari asalnya pohon yang telah
menghasilkan buah-buahan yang disukainya itu, atau tentang
pupuk yang menyebabkan pohon tersebut jadi subur, selama
tidak terpikirkan olehnya akan menanam pohon lain yang lebih
enak buahnya.

Ketika orang mengadakan pembahasan tentang filsafat Plato
atau tentang drama Shakespeare atau karya-karya Raphael
misalnya, orang tidak perlu mencari bahan kecamannya pada
kehidupan orang-orang besar itu - yang menjadi lambang
kemegahan dan kebanggaan umat manusia - kalau dalam
karya-karyanya itu tak ada yang dapat dijadikan sasaran
kecamannya. Kalau mereka mencari bahan kecaman yang tidak
punya dasar kebenaran, mereka takkan dapat mencapai tujuan.
Kalau niat jahat atau rasa dengki itu juga yang mereka
perlihatkan, argumentasi mereka akan jatuh dan orangpun
takkan mau mendengarkan. Hal ini takkan berubah hanya dengan
menuangkan rasa dengki itu ke dalam pola ilmu. Sifat dengki
itu tidak pernah mengenal kebenaran. Menyedihkan sekali
tentunya bila perasaan dengki itu juga yang menjadi sumber
kebenaran. Inilah dasar kecaman Orientalis-orientalis itu
terhadap Nabi, Rasul penutup itu. Tetapi dengan demikian
kecaman mereka itupun jadi gugur samasekali.

Sekarang saya sudahi sanggahan saya ini terhadap pendapat
Orientalis-orientalis yang oleh si Muslim orang Mesir itu
dijadikan pegangan dalam penulisan artikelnya. Sudah saya
kemukakan dalil-dalil kelemahan pendapat mereka itu.


PENGANTAR CETAKAN KEDUA (6/9)

PERTIMBANGAN MEREKA YANG AKTIF DALAM SOAL-SOAL ISLAM

Baiklah sekarang saya pindah kebahagian lain dalam tinjauan
ini. Sesudah cetakan pertama buku ini terbit, beberapa
kalangan Islam yang aktif dalam bidang pengetahuan agama,
memberikan pula pendapatnya.

Menurut hemat saya kecaman-kecaman rendah semacam ini, yang
tak dapat diterima oleh ilmu pengetahuan, hendaknya tidakkan
berulang lagi. Terhadap kaum Orientalis barangkali masih
dapat dimaafkan, terutama atas tindakan mereka yang sebelum
itu memang sangat berlebih-lebihan. Mereka merasa, bahwa
mereka menulis buat orang-orang Kristen Eropa. Dengan
demikian pada waktu itu mereka telah menjalankan suatu tugas
nasional atau tugas agama. Mereka didorong oleh keyakinan
mereka, dengan memperkosa ilmu pengetahuan sebagai alat
dalam melaksanakan tugasnya itu.

Tetapi sekarang, dengan adanya komunikasi via telegram dan
radio, via pers dan mass media lainnya ke seluruh penjuru
dunia, segala apa yang diterbitkan atau diucapkan orang di
Eropa atau di Amerika sudah dapat ditangkap hari itu atau
saat itu juga di negeri-negeri lain di Timur. Mereka yang
ingin memperoleh pengetahuan dan kenyataan sebenarnya,
seharusnya segala kabut nasional, rasial dan agama
disingkirkan dari depan mata dan dari dalam hati mereka.
Mereka hendaknya dapat memperkirakan bahwa apa yang mereka
katakan atau mereka tulis, akan secepatnya diketahui oleh
semua orang. Di segenap penjuru bumi orang akan mengujinya
dan menerima dengan sikap kritis. Biarlah, kebenaran yang
sebenarnya tidak terikat oleh apapun itulah yang akan
menjadi pedoman kita semua. Kita arahkan semua perhatian
kita pada suatu ikatan masa lampau dan masa datang umat
manusia, bahwa itu adalah suatu kesatuan keluarga besar yang
mengarah kepada pelaksanaan tujuan yang lebih tinggi, yang
dinanti-nantikan oleh segenap manusia sejak pertumbuhannya
yang pertama; suatu ikatan persaudaraan yang merdeka di
bawah naungan kebenaran dan keindahan. Inilah satu-satunya
ikatan yang akan menjamin tercapainya tujuan umat manusia
dalam peredaran sejarahnya yang begitu pesat ke arah
kebahagiaan dan kesempurnaan itu.

Sementara ada orang-orang yang begitu percaya pada apa yang
dilontarkan oleh kaum Orientalis secara berlebih-lebihan itu
menyalahkan kami, karena kami katanya begitu terikat dan
berpegang pada sumber-sumber berbahasa Arab, maka mereka
yang aktif dalam bidang pengetahuan agama Islam juga
menyalahkan kami, karena kami katanya terlalu berpegang pada
pendapat-pendapat kaum Orientalis; bahwa kami katanya tidak
memperhatikan segala yang diceritakan oleh buku-buku hadis
bertalian dengan sejarah hidup Nabi dan bahwa kami tidak
memakai cara seperti yang ada dalam buku-buku sejarah lama
itu.

Atas dasar ini sebagian mereka telah mengemukakan
pendapat-pendapat, yang kebanyakannya disampaikan dengan
cara yang lemah-lembut dan baik sekali dengan tujuan hendak
mencari kebenaran. Sebagian lagi, karena keras kepala atau
bodoh, tidak mau mengalah kepada yang lebih berpengetahuan.
Adapun mereka yang memberikan kritik dengan lemah-lembut,
kebanyakan dititik beratkan pada, bahwa apa yang diterangkan
dalam buku-buku sejarah dan Hadis Nabi tentang
mujizat-mujizat, tidak ada kami sebutkan. Bahkan kami
sebutkan pada penutup cetakan pertama: "Sejarah hidup
Muhammad adalah sejarah hidup manusia yang telah sampai ke
puncak tertinggi yang pernah dicapai seorang manusia. Pada
waktu itu Muhammad s.a.w. suka hati karena kaum Muslimin
menghargainya sebagai manusia biasa seperti mereka, hanya
diberi wahyu. Ia tidak suka apabila ia akan
dihubung-hubungkan kepada sesuatu mujizat selain Qur'an. Hal
ini dinyatakannya kepada para sahabat." Pada bahagian cerita
membelah dada ada kita katakan:

"Dengan demikian apa yang diminta oleh kaum Orientalis dan
pemikir-pemikir Muslim dalam hal ini ialah bahwa peri hidup
Muhammad sifatnya adalah manusia semata-mata dan bersifat
peri kemanusiaan yang luhur. Dan untuk memperkuat
kenabiannya itu memang tidak perlu harus bersandar kepada
hal-hal yang biasa dilakukan oleh orang-orang yang suka
kepada yang ajaib-ajaib. Dengan demikian mereka beralasan
sekali menolak tanggapan penulis-penulis Arab dan kaum
Muslimin tentang peri hidup Nabi yang tidak masuk akal itu.
Mereka berpendapat, bahwa apa yang telah dikemukakan itu
tidak sejalan dengan yang diminta oleh Qur'an, yakni supaya
merenungkan ciptaan Tuhan, dan bahwa undang-undang Tuhan
takkan ada yang berubah-ubah. Jadi tidak sesuai dengan
ekspresi Qur'an tentang kaum musyrik yang tidak mau
mendalami dan tidak mau mengeti juga."

Mereka yang mengkeritik saya dengan cara lemah-lembut itu di
antaranya ada juga yang menyalahkan, karena saya mengambil
kecaman-kecaman kaum Orientalis terhadap Nabi itu sebagai
pengantar untuk menyanggah mereka, sedang bunyi kecaman itu
menurut hemat mereka tidak sesuai dengan penghargaan dan
penghormatan yang harus mereka berikan kepada Nabi a.s.
Adapun mereka yang cuma memaki-maki sudah memang ada sebelum
cetakan pertama buku ini terbit, dan sebelum pembahasan ini
dikumpulkan menjadi buku.

SELAWAT KEPADA NABI

Dalam menyalahkan saya yang paling keras mereka lakukan
ialah karena pembahasan saya ini saya beri judul Sejarah
Hidup Muhammad tanpa saya berikutkan ucapan sallallahu
'alaihi wasallama (s.a.w.), ucapan Salam dan Selawat kepada
Rasulullah, sekalipun sambil tulisan ini berjalan sudah
beberapa kali saya sebutkan. Saya rasa mereka baru reda dari
memaki-maki itu sesudah pada judul cetakan pertama saya
hiasi dengan ayat Qur'an: "Allah dan para malaikat
memberikan rahmat kepada Nabi. Orang-orang beriman,
berikanlah selawat dan salam kepadanya" (Qur'an, 33: 56)
dan sesudah buku ini mengemukakan sejarah hidup Nabi dengan
metoda seperti apa adanya sekarang.

Akan tetapi mereka masih bersikeras juga dengan pendirian
mereka itu. Dengan begitu, dengan sikap keras kepala dan
kebodohan mereka tentang esensi Islam itu menunjukkan, bahwa
mereka sudah cukup merasa puas hanya dengan ikut saja apa
yang mereka terima dari nenek-moyang dahulu kala.

Baik kita mulai sekarang dengan menyanggah pandangan yang
salah ini dengan harapan tidak akan terulang lagi dilakukan
orang, baik oleh pihak bersangkutan di atas atau oleh pihak
lain dalam menanggapi buku apapun yang terbit. Kita mulai
sanggahan ini dengan kembali kepada buku-buku kaum
cendekiawan Islam terkemuka supaya orang mengetahui sampai
di mana taraf ketinggian Islam itu, yang sebenarnya tidak
terbatas hanya pada kata-kata saja, melainkan sudah dapat
menempatkan nilai hadis: "Bahwasanya agama ini kukuh sekali.
Tanamkanlah dalam-dalam dengan lemah-lembut. Sebenarnya
orang yang terputus dalam perjalanan takkan mencapai tujuan,
binatang bebanpun binasa." Dalam Kulliat-nya Abu'l-Baqa'
menerangkan, bahwa "penulisan ash-shalat (s.a.w.) dalam
buku-buku dahulu terjadi pada masa kekuasaan Abbasia. Oleh
karena itu, yang ada dalam kitab-kitab Bukhari dan yang lain
tidak mempergunakan kata-kata itu." Para Imam sebagian besar
sepakat, bahwa Selawat kepada Nabi cukup sekali saja
diucapkan orang selama hidupnya. Ibn Najm dalam Al-Bahru'r
Ra'iq menyebutkan: "Perintah dalam firman Tuhan 'ucapkan
selawat dan salam kepadanya' kewajibannya berlaku sekali
saja selama hidup, baik dalam sembahyang atau di luar itu.
Tentang ini tak ada perselisihan pendapat."

Adanya perbedaan pendapat antara Syafi'i dan yang lain
tentang kewajiban mengucapkan selawat kepada Nabi, berlaku
selama dalam sembahyang, bukan di luar itu. Selawat ialah
doa, artinya mudah-mudahan Allah memberi rahmat dan salam
kepada Nabi."

Demikian sumber para Imam dan ulama Islam menyebutkan
mengenai masalah ini. Adanya dugaan bahwa mengucapkan
selawat kepada Nabi pada setiap menyebutkan dan menuliskan
namanya merupakan suatu keharusan menunjukkan, bahwa dalam
hal ini mereka bersikap sangat berlebih-lebihan. Akibat dari
kesalahan mereka itu, maka mereka yang mengikutinya akan
salah pula jika mereka mengetahui apa yang sudah kita
sebutkan tadi. Ahli-ahli hadis terkemuka tidak menuliskan
kata-kata selawat itu dalam kitab-kitab mereka yang
mula-mula.

MENANGKIS KECAMAN

Mereka yang berpendapat bahwa tidak selayaknya menyebutkan
kecaman-kecaman kaum Orientalis dan misi penginjil terhadap
Nabi yang mulia ini sebagai pendahuluan untuk menyanggah
mereka, pendapat ini tidak punya dasar selain dan pada rasa
sentimen keislaman yang mereka agung-agungkan. Sedang dari
segi ilmu dan agama, dasarnya tidak ada. Apa yang dikatakan
kaum musyrik tentang Nabi, Qur'an menyebutkannya, lalu
menyanggahnya dengan argumen yang kuat. Jadi, moral Qur'an
adalah moral yang lebih sesuai dan tinggi adanya. Qur'an
menyebutkan tuduhan Quraisy terhadap Muhammad sebagai tukang
sihir dan gila: "Kami mengetahui benar, bahwa mereka
berkata: 'Hanyalah seorang manusia yang mengajarkannya.'
Padahal bahasa orang yang mereka tuduhkan itu adalah bahasa
asing, sedang ini adalah bahasa Arab yang jelas sekali"
(Qur'an 16: 103). Hal semacam ini sering sekali ter]adi.

Selanjutnya alasan tuduhan mereka itu tidak akan dapat
ditangkis secara ilmiah, kalau tidak disebutkan dan dicatat
secara jujur dan teliti. Dengan buku ini saya mencoba
mengemukakan pembahasan ilmiah guna mencari kenyataan ilmiah
semata. Juga saya maksudkan supaya dibaca baik oleh kaum
Muslimin atau bukan.

Hendaknya mereka semua dapat diyakinkan tentang kenyataan
ilmiah ini. Hal ini baru akan tercapai bilamana
pembahasannya benar-benar bersih dalam kecenderungannya
mencari kebenaran itu, tidak terikat oleh apapun selain oleh
kecenderungan tersebut, dan tidak pula ragu-ragu mengakui
kebenaran itu dan manapun datangnya.


PENGANTAR CETAKAN KEDUA (7/9)

BUKU-BUKU SEJARAH DAN BUKU-BUKU HADIS

Sekarang kita kembali ke pokok pertama, kepada mereka yang
aktif dalam bidang pengetahuan agama Islam, yang mengkritik
saya dengan cara lemah-lembut dan dengan cara yang baik itu.
Mereka mengatakan, bahwa saya tidak menuruti apa yang ada
dalam buku-buku sejarah hidup Nabi dan kitab-kitab hadis.
Dalam mengungkapkan berbagai peristiwa saya tidak menempuh
cara yang sudah ada.

Dalam hal ini cukuplah kiranya bila saya jawab, bahwa dalam
pembahasan ini saya memakai metoda ilmiah, saya tulis dengan
gaya zaman kini. Yang demikian ini saya lakukan, karena
inilah cara yang baik menurut pandangan ilmu pengetahuan
yang berlaku sekarang dengan berbagai macam cabangnya, baik
yang berkenaan dengan sejarah atau tidak. Bagi saya - dan
ini pendirian saya - tidak perlu kita terikat pada buku-buku
lama. Antara kedua cara dan cara-cara lama dengan yang
berlaku sekarang terdapat perbedaan yang besar sekali.
Secara mudahnya, dalam buku-buku lama tidak dibenarkan
adanya kritik seperti yang berlaku sekarang. Kebanyakan
buku-buku lama ditulis untuk suatu maksud keagamaan dalam
arti ubudiah, sementara penulis-penulis dewasa ini terikat
oleh metoda dan kritik-kritik ilmiah. Ini saja sudah cukup
buat saya menangkis setiap tantangan dan sekaligus
membenarkan metoda yang saya pakai dalam penyelidikan ini.
Tetapi saya pikir ada baiknya juga saya jelaskan barang
sedikit sehubungan dengan sebab-sebab yang membawa ahli-ahli
pikir dari pemuka-pemuka Islam masa lampau itu - dan masa
kini - juga yang membawa setiap penyelidik yang teliti -
untuk tidak secara serampangan mengambil begitu saja apa
yang ada dalam buku-buku sejarah dan buku-buku hadis. Kita
terikat pada kaidah-kaidah kritik ilmiah demikian ialah guna
menghindarkan diri dari kesalahan sedapat mungkin.

Sebab pertama yang menimbulkan perbedaan yang terdapat dalam
buku-buku itu ialah; banyaknya peristiwa-peristiwa dan
hal-hal yang terjadi, yang dihubung-hubungkan kepada Nabi
sejak ia lahir hingga wafatnya. Mereka yang mempelajari
buku-buku ini melihat adanya beberapa berita yang
ajaib-ajaib, mujizat-mujizat dan cerita-cerita lain semacam
itu. Di sana-sini ditambah atau dikurangi tanpa alasan yang
tepat, kecuali perbedaan-perbedaan waktu ketika buku-buku
tersebut ditulis. Buku-buku lama tidak seberapa banyak
menghidangkan cerita yang aneh-aneh itu dibandingkan dengan
buku-buku yang datang kemudian. Peristiwa-peristiwa yang
serba ajaib yang terdapat dalam buku-buku lama tidak begitu
jauh dari jangkauan akal, dibandingkan dengan yang terdapat
dalam buku penulis-penulis yang belakangan. Buku Sirat Ibn
Hisyam misalnya - sebagai buku biografi tertua yang pernah
dikenal sampai sekarang - tidak banyak menyebutkan apa yang
disebutkan oleh Abu'l-Fida' dalam Tarikh-nya, atau seperti
apa yang disebutkan oleh Qadzi Iyadz dalam Asy-Syifa', juga
seperti yang disebutkan dalam buku penulis-penulis kemudian.

KONTRADIKSI

Begitu juga tentunya tentang buku-buku hadis dengan segala
perbedaannya yang ada. Ada yang mengemukakan satu cerita,
yang lain menghilangkannya, ada pula yang menambahkan. Dalam
mengadakan pembahasan ilmiah dalam buku-buku demikian
seorang penyelidik harus membuat sebuah kriterium yang dapat
mengukur mana-mana yang cocok dan mana pula yang tidak.
Mana-mana yang dapat dipercaya oleh kriterium itu, itu pula
yang diakui oleh penyelidik tersebut. Mana-mana yang tidak
dapat dipercaya, ia akan dimasukkan ke dalam daftar
pengujian kalau memang perlu diuji.

Dalam beberapa hal orang-orang dahulu memang menggunakan
metoda ini, dan dalam hal yang lain tidak. Tentang cerita
gharaniq misalnya yang menyebutkan bahwa ketika Nabi merasa
kesal terhadap kepada pemuka-pemuka Quraisy maka lalu
dibacakan Surah "an-Najm." Ketika sampai pada ayat "Adakah
kamu perhatikan al-Lat dan al-'Uzza, dan Manat ketiga, yang
terakhir?" (Qur'an 53:19-20) dibacanya pula, "Dan itu
gharaniq yang luhur, perantaraannya dapat diharapkan."
Kemudian pembacaan Surah itu diteruskan sampai selesai. Nabi
lalu sujud diikuti oleh kaum Muslimin dan kaum musyrik yang
juga sama-sama bersujud.

Cerita ini dibawa oleh Ibn Said dalam At-Tabaqat'l-Kubra dan
tidak pula diberi suatu kritik. Dalam beberapa buku hadis
shahih disebutkan juga adanya cerita gharaniq ini dengan
beberapa perbedaan. Tetapi Ibn Is-haq membawa cerita ini
dengan mengatakan: "itu berasal dari karangan orang-orang
atheis." Juga dalam Al Bidaya wan-Nihaya fit-Tarikh Ibn
Kathir menyebutkan: "Orang bicara tentang cerita gharaniq
ini. Tetapi lebih baik kita menghindari pembicaraan ini,
supaya jangan ada orang yang mendengarnya lalu
menempatkannya tidak pada tempatnya. Akan tetapi mulanya
cerita ini memang terdapat dalam Shahih." Kemudian ia
menyebutkan sebuah hadis tentang ini melalui Bukhari dengan
mengatakan: "Hanya Bukhari sendiri yang menyebutkan. Muslim
tidak." Saya sendiri tidak ragu-ragu lagi akan menolak
cerita ini dari dasarnya. Saya setuju dengan Ibn Ishaq,
bahwa cerita ini adalah bikinan orang-orang atheis. Dalam
menyanggah ini saya dapat menarik beberapa argumentasi,
bukan saja karena dalam cerita tersebut terdapat
kontradiksi, mengingat bahwa para rasul itu mendapat
perlindungan dalam menyampaikan risalah Tuhan, tetapi juga
saya bersandar pada kaidah-kaidah kritik ilmiah yang berlaku
sekarang.

FAKTOR WAKTU, KETIKA CERITA ITU DITULIS

Sebab-sebab lain yang masih perlu diuji sehubungan dengan
buku-buku lama itu, dengan mengadakan suatu kritik yang
teliti menurut metoda ilmiah, ialah bahwa buku tertua yang
pernah ditulis orang baru seratus tahun atau lebih kemudian
sesudah Nabi wafat, dan sesudah meluasnya issue-issue - baik
politik atau bukan politik - dalam dunia Islam, dengan
menciptakan cerita-cerita dan hadis-hadis sebagai salah satu
alat penyebaran. Apalagi kesan kita tentang yang ditulis
orang kemudian, yang sudah mengalami zaman yang sangat kacau
dan gelisah.

PENGARUH PERTENTANGAN POLITIK DALAM DUNIA ISLAM

Pertentangan-pertentangan politik yang telah dialami oleh
mereka yang mengumpulkan hadis - dengan membuang mana yang
palsu dan mencatat mana yang dianggap sahih - menyebabkan
mereka berusaha lebih berhati-hati lagi. Mereka berusaha
melakukan ketelitian dalam menguji, supaya tidak sampai
menimbulkan keragu-raguan. Orang akan cukup menyadari apa
yang dialami Bukhari yang begitu susah-payah dengan
perjalanan yang dilakukannya ke berbagai tempat dunia Islam,
guna mengumpulkan hadis dan lalu mengujinya. Apa yang
diceritakannya kemudian, bahwa dari hadis-hadis yang beredar
yang dijumpainya sampai melebihi 600.000 buah itu, yang
dipandang benar (sahih) olehnya tidak lebih dari hanya 4.000
buah hadis saja. Ini berarti bahwa dari setiap 150 buah
hadis yang dipandang benar olehnya hanya sebuah saja. Sedang
pada Abu Dawud, dari 500.000 buah hadis, yang dianggap sahih
menurut dia hanya 4.800 saja. Demikian juga halnya dengan
penghimpun-penghimpun hadis yang lain. Banyak sekali dari
hadis-hadis itu, yang oleh sebagian dianggap sahih, oleh
ulama lain masih dijadikan bahan penelitian dan mendapat
kritik, yang akhirnya banyak pula yang ditolak. Ini sama
halnya dengan soal gharaniq.

PENGHIMPUNAN HADIS

Jadi, kalau demikian inilah yang sudah terjadi dengan hadis,
yang sudah demikian rupa diperjuangkan oleh para penghimpun
hadis itu, apalagi dengan buku-buku sejarah hidup Nabi yang
datang kemudian, bagaimana kita dapat mengandalkannya tanpa
mengadakan penelitian dan pengujian ilmiah!

Sebenarnya, pertentangan politik yang terjadi sesudah
permulaan sejarah Islam, telah menimbulkan lahirnya
cerita-cerita dan hadis-hadis bikinan untuk mendukung maksud
tersebut. Sampai pada saat-saat terakhir zaman Banu Umayya
penulisan hadis belum lagi dilakukan orang. Umar bin Abdul
Aziz pernah memerintahkan supaya hadis-hadis itu dihimpun.
Kemudian baru dikumpulkan pada zaman Ma'mun, yaitu sesudah
terjadi "Hadis yang sahih dalam hadis yang palsu itu seperti
rambut putih pada kerbau hitam," seperti kata Ad-Daraqutni.
Dan mungkin tidak dikumpulkannya hadis pada masa permulaan
Islam, karena seperti diberitakan bahwa Nabi berkata:
"Jangan menuliskan sesuatu tentang aku, selain Qur'an.
Barangsiapa menuliskan itu selain Qur'an, hendaklah
dihapus."

Akan tetapi pada waktu itu hadis Nabi sudah beredar dari
mulut ke mulut dan penceritaannyapun berbeda-beda. 'Umar
ibn'l-Khattab ketika menjadi Khalifah pernah mengambil
langkah dalam hal ini dengan maksud akan menuliskan
hadis-hadis itu. Ia minta pendapat sahabat-sahabat Nabi yang
lain. Merekapun memberikan pendapat yang sama. Selama
sebulan lamanya ia melakukan istikharah, yang kemudian
setelah mendapat ketetapan hati ia berkata: "Saya bermaksud
akan menulis hadis dan sunah, tapi saya takkan
mencampur-adukkan Qur'an dengan apapun." Penulisan
hadis-hadis itu tidak jadi dilakukan. Ditulisnya surat ke
kota-kota lain: "Barangsiapa memilikinya supaya dihapuskan."
Sesudah itu hadis-hadis terus juga beredar dan berkembang
biak, sehingga akhirnya terhimpun juga hadis-hadis yang
dianggap sahih menurut para penghimpunnya, yakni pada masa
Ma'mun.

KRITERIUM YANG SEBENARNYA TENTANG HADIS

Dengan segala usaha penelitian yang sudah tentu dilakukan
oleh para penghimpun hadis itu, tapi masih banyak juga
hadis-hadis yang oleh mereka sudah dinyatakan sahih itu,
oleh beberapa ulama lain masih dinyatakan tidak otentik.
Dalam Syarah Muslim Nawawi menyebutkan: "Ada golongan yang
membuat koreksi terhadap Bukhari dan Muslim mengenai
hadis-hadis itu sehingga syarat-syarat mereka tidak begitu
dihiraukan dan mengurangi pula arti yang menjadi pegangan
mereka, yakni para penghimpun itu, yang sebagai kriterium
mereka hanya berpegang pada sanad (askripsi) dan pada
kepercayaan mereka kepada sumber cerita sebagai dasar:
menerima atau menolak hadis itu. Ini memang suatu, kriterium
yang berharga. Tetapi itu saja tentu tidak cukup."

Bagi kita kriterium yang baik dalam mengukur hadis - dan
mengukur setiap berita yang berhubungan dengan Nabi - ialah
seperti yang pernah diceritakan orang tentang Nabi
'alaihissalam ketika menyatakan: "Kamu akan berselisih
sesudah kutinggalkan. Maka (oleh karena itu) apa yang
dikatakan orang tentang diriku, cocokkanlah dengan Qur'an.
Mana yang cocok itu dari aku, dan mana yang bertentangan,
bukan dari aku."

Ini adalah suatu kriterium yang tepat, yang sudah menjadi
pegangan pemuka-pemuka Islam sejak permulaan sejarah Islam.
Dan sampai sekarang mereka sebagai ahli pikir masih
berpegang pada ini. Seperti dikatakan oleh Ibn Khaldun:
"Saya tidak percaya akan kebenaran sanad sebuah hadis, juga
tidak percaya akan kata-kata seorang sahabat terpelajar yang
bertentangan dengan Qur'an, sekalipun ada orang-orang yang
memperkuatnya. Beberapa pembawa hadis dipercayai karena
keadaan lahirnya yang dapat mengelabui, sedang batinnya
tidak baik. Kalau sumber-sumber itu dikritik dari segi matn
(teks), begitu juga dari segi sanadnya, tentu akan banyaklah
sanad-sanad itu akan gugur oleh matn. Orang sudah
mengatakan: bahwa tanda hadis maudzu, (buatan) itu, ialah
yang bertentangan dengan kenyataan Qur'an atau dengan
kaidah-kaidah yang sudah ditentukan oleh hukum agama
(syariat) atau dibuktikan oleh akal atau pancaindra dan
ketentuan-ketentuan axioma lainnya."

Kriterium inilah yang terdapat dalam hadis Nabi tersebut.
Dan apa yang dikatakan oleh Ibn Khaldun tadi sesuai sekali
dengan kaidah kritik ilmiah modern sekarang.

PENGHIMPUNAN HADIS PADA MASA MA'MUN

Sebenarnya, perselisihan kaum Muslimin sudah mencapai
puncaknya setelah ditinggalkan Nabi, sehingga menimbulkan
adanya ribuan hadis dan sumber-sumber yang saling
bertentangan. Sesudah Abu Lu'lu'a, bujang Al-Mughira,
membunuh Umar ibn'l Khattab, dan sesudah Usman bin 'Affan
memangku jabatan Khalifah, permusuhan lama antara Banu
Hasyim dan Banu Umayya yang terjadi sebelum Islam mulai
timbul lagi. Setelah Usman terbunuh, perang saudara antara
kaum Musliminpun pecah. Aisyah melawan Ali dan Alipun
mendapat pendukungnya pula. Maka mulailah hadis-hadis buatan
bertambah banyak, sampai-sampai Ali bin Abi Talib sendiri
menolaknya. Konon dia berkata: "Tak ada kitab pada kami yang
dapat kami bacakan kepada kamu, kecuali apa yang ada dalam
Qur'an. Dan apa yang ada dalam kitab itu kuterima dari
Rasulullah; terdapat kewajiban-kewajiban sadakah."

Akan tetapi ini tidak menghalangi para penyiar hadis itu
melancarkan ceritanya, tidak menghalangi adanya golongan
tertentu membuat-buat hadis karena sesuatu ambisi atau
karena maksud-maksud baik dengan mengajak pula orang lain.
Mereka memduga orang lain akan senang sekali menerimanya
bila hadisnya itu dihubung-hubungkan kepada Rasulullah.

Sesudah keadaan Banu Umayya stabil, juru-juru hadis yang ada
hubungannya dengan Keluarga Umayya itu berusaha melemahkan
semua hadis tentang Ali bin Abi Talib dan jasa-jasanya.
Sementara oleh pembela-pembela Ali dan keluarga Nabi
hadis-hadis itu ditambah-tambah serta berusaha pula
menyebarkannya dengan segala cara. Sebaliknya segala yang
datang dari Aisyah Umm'l-Mu'-minin oleh mereka
dihalang-halangi.


PENGANTAR CETAKAN KEDUA (8/9)

CERITA-CERITA TIDAK MASUK AKAL DAN TIDAK ILMIAH

Yang aneh lagi dalam hal ini ialah apa yang diceritakan oleh
Ibn 'Asakir dari Abu Sa'd Isma'il bin Muthanna
al-Astrabadhi. Tatkala ia sedang berkhutbah di Damsyik,
salah seorang yang hadir bertanya tentang hadis Nabi yang
berbunyi: "Saya gudang ilmu dan Ali pintunya" Ismail menekur
sebentar, lalu diangkatnya kepalanya seraya katanya: "Ya,
tak ada yang mengetahui hadis ini dari Nabi, kecuali yang
hidup pada masa permulaan Islam. Akan tetapi Nabi berkata:
"Saya gudang ilmu, Abu Bakr fondasinya, Umar dindingnya,
Usman atapnya dan Ali pintunya." Dengan demikian para
hadirin puas rasanya. Tetapi ketika diminta kepadanya supaya
menerangkan sanadnya, ia merasa gusar sekali karena memang
tidak mampu.

Begitulah hadis-hadis itu dipalsukan orang karena memang ada
maksud politik atau kemauan-kemauan insidentil lainnya.
Demikian banyaknya hadis-hadis palsu itu sehingga kaum
Muslimin kemudian terkejut sekali, karena ternyata banyak
pula yang tidak cocok dengan yang ada dalam Kitabullah.
Usaha hendak menghentikannyapun sudah banyak pula dikerahkan
pada zaman Umayya, tapi tidak juga berhasil.

Bagaimanapun juga pada masa dinasti Abbasia, dan Ma'mun yang
berkuasa dua abad kemudian sesudah Nabi wafat, puluhan atau
ratusan ribu hadis-hadis maudzu' (buatan) itu sudah tersebar
- diantaranya terdapat banyak yang lemah dan kontradiksi
sekali, yang tidak diduga semula. Pada waktu itulah para
penghimpun hadis dan penulis-penulis biografi Nabi juga
menuliskan biografinya. Al-Waqidi, 'Ibn Hisyam dan
Al-Mada'ini hidup dan menuliskan buku-buku itu pada masa
Ma'mun. Baik mereka ini atau yang lain pada waktu itu,
karena takut akibatnya, tidak ada yang berani menentang
pendapat Khalifah. Oleh karena itu, sesuai dengan apa yang
harus mendapat penelitian mana kriterium yang menurut suatu
sumber berasal dari Nabi a.s., yakni dengan mencocokkannya
kepada Qur'an sebagaimana mestinya, tidak mereka pakai lagi,
yaitu: mana-mana yang cocok dengan Qur'an, adalah dari Rasul
dan yang tidak, bukan dari Rasul.

Sekiranya kriterium itu dipakai dengan penelitian
sebagaimana mestinya, segala yang sudah ditulis oleh
tokoh-tokoh itu niscaya akan berubah. Kritik ilmiah menurut
metoda modern sama sekali tidak berbeda dari kriterium ini.
Akan tetapi situasi masa itu mengharuskan tokoh-tokoh
tersebut menyesuaikan kriterium mereka itu untuk sesuatu
golongan, sedang untuk golongan lain tidak pula demikian.
Cara-cara ini dalam penulisan sejarah hidup Nabi oleh
penulis-penulis kemudian telah diwarisi juga dari
orang-orang dahulu, dengan pertimbangan-pertimbangan yang
lain dari pertimbangan mereka itu. Kalau orang mau berlaku
jujur terhadap sejarah, tentu mereka menyesuaikan hadis itu
dengan sejarah hidup Nabi, baik dalam garis besar, maupun
dalam perinciannya, tanpa mengecualikan sumber lain, yang
tidak cocok dengan yang ada dalam Qur'an. Mana yang tidak
sejalan dengan hukum alam dan tidak tersebut pula dalam
Kitabullah tidak perlu mereka catat. Yang tidak sejalan
dengan hukum alam itu diteliti dulu dengan saksama, sesudah
itu baru diperkuat dengan yang ada pada mereka, disertai
pembuktian yang positif, dan mana-mana yang tak dapat
dibuktikan seharusnya ditinggalkan.

Pendapat cara ini telah dijadikan pegangan oleh imam-imam
terkemuka dari kalangan Muslimin dahulu, dan beberapa imam
lainpun mengikuti mereka sampai sekarang. Syaikh Muhammad
Mustafa al-Maraghi dalam kata perkenalan buku ini
menyebutkan: "Kekuatan mujizat Muhammad s.a.w. hanyalah
dalam Qur'an, dan mujizat ini sungguh rasional adanya. Sajak
Bushiri berikut ini memang indah sekali:

"Tidak juga sampai kita dicoba Yang akan meletihkan akal
karenanya Karena sayangnya kepada kita Kitapun tak ragu,
kitapun tak sangsi."

Almarhum Sayid Muhammad Rasyid Ridza, Redaktur majalah
Al-Manar dalam menjawab kritik orang yang menentang buku
kita ini, menulis: "Kalangan Al-Azhar dan pengikut-pengikut
tarekat yang paling keberatan terhadap Haekal sebagian besar
mengenai mujizat-mujizat dan hal-hal yang ajaib-ajaib di
luar kebiasaan. Pada pasal dua bahagian dua dan pasal lima
dalam buku Al-Wahy'l-Muhammadi, dari segala segi dan
persoalannya mengenai hal ini, ada saya tulis, bahwa hanya
Qur'anlah satu-satunya pembuktian Tuhan yang positif khusus
tentang kenabian Muhammad s.a.w. dan kenabian para nabi yang
lain. Ciri-ciri mereka zaman kita sekarang ini tak dapat
dibuktikan tanpa kenyataan tersebut.

"Masalah-masalah alam gaib (supernatural) adalah
masalah-masalah yang diragukan, bukan suatu pembuktian yang
meyakinkan menurut para ahli. Hal tersebut terdapat juga
pada zaman kita ini, dan terdapat juga pada setiap zaman.
Mereka yang masih terpesona oleh masalah semacam itu, adalah
orang-orang yang suka pada takhayul yang memang terdapat
pada setiap aliran kepercayaan. Saya terangkan juga sebab
timbulnya daya tarik itu serta perbedaan-perbedaan mana yang
umumnya termasuk hukum alam, hukum rohani dan lain-lain."
[Majalah Al-Manar, 3 Mei 1935].

Syaikh Muhammad Abduh pada bahagian pertama buku Al-Islam
wan-Nashrania ("Islam dan Kristen") menyebutkan: "Dengan
adanya ajaran dan tuntutan terhadap keimanan kepada Allah
dan keesaanNya, Islam tidak memerlukan apa-apa lagi selain
pembuktian rasional dan pemikiran insani yang sejalan dengan
ketentuan yang wajar. Orang tidak perlu bingung terhadap hal
yang gaib, tidak perlu menutup mata terhadap
kejadian-kejadian yang tidak biasa, tidak perlu membisu
karena ada ledakan dari langit; dan pikiran kitapun jangan
terputus karena pekikan yang membawa suara suci. Kaum
Muslimin sudah sepakat - kecuali sejumlah kecil dengan
pendapat yang tidak berarti - bahwa kepercayaan kepada Allah
adalah mendahului kepercayaan kepada nabi-nabi. Tidak
mungkin orang percaya kepada rasul-rasul, sebelum ia beriman
kepada Allah; sedang beriman kepada Allah melalui ucapan
para rasul atau melalui kitab-kitab suci, tidak dibenarkan.
Sungguh tidak masuk akal orang akan percaya kepada adanya
kitab yang diturunkan Allah, jika sebelum itu kita tidak
percaya akan adanya Allah. Maka Dialah yang harus menurunkan
kitab dan mengutus rasul."

Saya kira mereka yang pernah menulis sejarah hidup Nabi akan
lebih condong pada pandangan semacam ini, kalau tidak karena
situasi pada masa mereka dahulu dan kalau tidak karena
dugaan mereka yang datang kemudian bahwa dengan menyebutkan
peristiwa-peristiwa gaib dan mujizat-mujizat yang tidak
terdapat dalam Qur'an itu akan menanamkan rasa keimanan
dalam hati orang lebih dalam lagi. Oleh karena itu mereka
menduga pula, bahwa dengan menyebutkan mujizat-mujizat itu
akan berguna sekali, dan tidak akan merugikan. Sekiranya
mereka hidup pada masa kita sekarang ini dan menyaksikan
betapa musuh-musuh Islam itu mempergunakan apa yang mereka
sebutkan itu sebagai argumen mereka menghantam Islam dan
umat Islam, niscaya mereka akan berpegang pada apa yang ada
dalam Qur'an, mereka akan berkata seperti Imam Ghazali,
Muhammad 'Abduh, Maraghi dan pemuka-pemuka lain yang cukup
teliti. Sekiranya mereka hidup pada masa kita sekarang ini,
dan menyaksikan betapa cerita-cerita demikian itu
menyesatkan hati dan kepercayaan orang - bukan sebaliknya,
menanamkan dan menguatkan iman - niscaya cukuplah mereka
menyebutkan saja ayat-ayat Qur'an yang begitu jelas dengan
dalil-dalil yang memang sudah tak dapat dibantah lagi.

Adapun dari segi yang merugikan cerita-cerita yang tidak
diterima oleh akal dan tidak pula ilmiah itu sudah jadi
jelas sekali: bagi setiap orang yang mau menggarap
masalah-masalah serupa ini hendaknya selalu berpegang pada
segi ketelitian ilmiah dalam mengadakan pengujian, demi
pengabdiannya kepada kebenaran, kepada Islam dan kepada
sejarah Nabi. Kebenaran-kebenaran yang diungkapkan oleh
hasil penyelidikan dalam sejarah yang besar ini, adalah
sebagai penyuluh yang akan membawa umat manusia kepada
peradaban yang sebenarnya.

QUR'AN DAN MUJIZAT

Kalau beberapa masalah yang terdapat dalam buku-buku sejarah
hidup Nabi dan kitab-kitab hadis kita perbandingkan dengan
apa yang terdapat dalam Qur'an, tentu tak bisa lain kita
akan menerima pendapat-pendapat para imam yang sangat teliti
itu. Pada waktu itu penduduk Mekah minta kepada Nabi
berbangsa Arab itu supaya Tuhan menurunkan mujizat-mujizat
kepadanya, kalau ia ingin supaya mereka mempercayainya. Maka
Qur'an datang menyebutkan apa yang mereka minta itu dan
menolaknya dengan beberapa argumen: "Dan kata mereka: 'Kami
takkan percaya kepadamu, sebelum kaupancarkan mata air untuk
kami dari bumi ini. Atau engkau mempunyai sebuah kebun kurma
dan anggur, dan di tengah-tengahnya memancar sungai-sungai
yang deras mengalir. Atau seperti kauterangkan kepada kami
kaujatuhkan langit berkeping-keping. Atau kaudatangkan Tuhan
dan malaikat-malaikat itu berhadap-hadapan dengan kami. Atau
engkau mempunyai sebuah mahligai berhiaskan emas. Atau
engkau naik ke langit, dan kenaikanmu itu tidak akan kami
percayai, sebelum kaubawakan sebuah kitab kepada kami yang
akan kami baca' Ya, katakan: Maha suci Tuhanku. Bukankah aku
hanya seorang manusia yang diutus?" (Qur'an 17:90-93)

"Mereka bersumpah sungguh-sungguh demi Allah, bahwa jika
sebuah tanda (mujizat) dibuktikan kepada mereka, niscaya
mereka akan mempercayainya. Katakan: tanda-tanda itu hanya
ada pada Allah. Tapi, sadarkah kamu, bahwa kalaupun itu
dibuktikan, mereka tidak juga akan percaya? Juga akan Kami
balikkan jantung dan pandangan mata mereka; karena tidak
mempercayainya pada pertama kali. Dan akan kami biarkan
mereka mengembara membawa durhaka. Kalaupun Kami kirimkan
malaikat-malaikat kepada mereka dan mayat-mayatpun mengajak
mereka bicara, lalu segalanya Kami kumpulkan di depan hidung
mereka, tidak juga mereka akan mau beriman; kecuali bila
Allah menghendaki. Tetapi kebanyakan mereka tidak mengerti."
(Qur'an 6:109-111)

Di dalam Qur'an tidak ada disebutkan sesuatu mujizat yang
oleh Allah dimaksudkan supaya segenap manusia - menurut
zamannya masing-masing - mempercayai kerasulan Muhammad,
selain daripada Qur'an. Padahal, beberapa mujizat disebutkan
dengan ijin Allah terhadap para rasul yang datang sebelum
Muhammad sama halnya seperti apa yang telah dianugerahkan
Tuhan kepada Muhammad serta dari percakapan yang ditujukan
kepadanya. Apa yang tersebut dalam Qur'an tentang Muhammad,
samasekali tidak bertentangan dengan hukum alam.

Kalau memang sudah itu yang digariskan oleh Qur'an dan
begitu pula yang terjadi terhadap diri Rasulullah, apa lagi
yang mendorong setengah kaum Muslimin - baik pada masa
dahulu ataupun sekarang - menerapkan mujizat-mujizat kepada
Nabi? Mereka terdorong demikian, karena mereka membaca dalam
Qur'an adanya mujizat-mujizat pada para rasul sebelum
Muhammad. Lalu mereka berkeyakinan, bahwa
keajaiban-keajaiban materi (mujizat-mujizat) semacam itu
perlu juga melengkapi kerasulan Muhammad. Mereka lalu
percaya tentang itu sekalipun dalam Qur'an tidak disebutkan.
Merekapun menduga, bahwa makin banyak jumlah mujizat-mujizat
itu, akan makin kuat membuktikan kedudukan Nabi, akan makin
besar pula merangsang orang beriman kepada kerasulan itu.
Memperbandingkan Nabi dengan para rasul yang sebelumnya, ada
perbedaannya. Muhammad adalah Nabi dan Rasul terakhir.
Sekalipun begitu dia adalah Rasul pertama diutus Allah
kepada seluruh umat manusia- bukan diutus hanya kepada
bangsanya saja - supaya memberi penerangan.

MUJIZAT TERBESAR

Oleh karena itu Allah menghendaki supaya mujizat Muhammad
itu adalah mujizat insani yang rasional, yang masuk akal,
yang takkan dapat ditiru, baik oleh manusia maupun jin,
sekalipun mereka satu sama lain saling membantu. Mujizat itu
ialah Qur'an. Ini adalah mujizat terbesar yang pernah
diberikan Allah. Dengan itu Tuhan menghendaki akan
memperkuat kerasulan NabiNya itu dengan argumen yang jelas
dan dalil yang tak dapat dibantah. Ia menghendaki - dengan
itu - agar agama ini mendapat kemenangan pada masa hidup
Rasul, supaya dalam kemenangan itu orang melihat
kemahakuasaanNya. Kalau Tuhan menghendaki adanya mujizat
yang akan membuat mereka yang hidup pada masa Nabi merasa
puas, tentu itu akan disebutkan dalam Qur'an. Tapi ada orang
yang tidak mau percaya kalau tidak dibuktikan dengan akal.
Karena itu maka ayat yang akan meyakinkan seluruh umat
manusia akan kerasulan Muhammad itu ialah yang dekat sekali
hubungannya dengan jantung dan pikiran mereka. Maka Allah
telah memperlihatkan itu dalam bentuk Qur'an, sebagai
argumen yang paling nyata dan sebagai mujizat kepada mereka
dari Nabi yang ummi itu. Ia memperlihatkan kemenangan agama
dan kekuatan iman kepadanya itu dengan melalui dalil dan
keyakinan yang positif. Agama yang dibangun atas dasar
inilah yang lebih kuat menanamkan iman ke dalam hati umat
manusia sepanjang zaman, kepada pelbagai bangsa dan aneka
macam bahasa.

Sekiranya ada segolongan masyarakat yang bukan Islam beriman
kepada agama ini sekarsng, dan sebagai argumennya supaya ia
yakin dan percaya, tidak ada sesuatu mujizat lain daripada
Qur'an, niscaya itu tidak akan mengurangi imannya, juga
tidak akan pula kurang Islamnya. Selama wahyu itu memang
bukan bertugas membawa mujizat-mujizat semacam itu, tak ada
salahnya apabila orang yang sudah beriman kepada Allah dan
kepada RasulNya itu rnau menguji lagi segala yang mengenai
mujizat, yang ada hubungannya dengan wahyu itu. Mana yang
dapat dibuktikan dengan alasan positif dapat saja diterima;
dan mana yang tak dapat.dibuktikan, terserah pada
pendapatnya sendiri. Iapun tidak salah. Beriman kepada Allah
yang tunggal tiada bersekutu memang memerlukan suatu
mujizat, dan untuk itu cukup dengan merenungkan alam semesta
yang telah diciptakan Allah. Begitu juga, sebagai bukti
kerasulan Muhammad, yang dengan perintah Tuhan mengajak
manusia beriman serta menyelamatkan mereka agar jangan
berpaling hati, juga tidak memerlukan sesuatu mujizat selain
Qur'an: tidak diperlukan lebih daripada membacakan Kitab
Suci yang telah diwahyukan Allah kepadanya itu.

Sekiranya ada segolongan masyarakat yang bukan Islam beriman
kepada agama ini sekarang, dan untuk meyakinkan itu tidak
diperlukan sesuatu mujizat lain daripada Qur'an, niscaya
orang yang pernah beriman itu akan terdiri dari dua macam:
pertama orang yang sudah tidak tergoyahkan lagi hatinya;
sejak pertama kali ia mendapat ajakan, hatinya sudah terbuka
menerima iman, seperti halnya yang terjadi dengan Abu Bakr.
Ia berimam dan percaya tanpa ragu-ragu lagi. Yang kedua,
orang yang untuk imannya itu sudah tidak perlu lagi mencari
mujizat-mujizat lain dari balik hukum alam, melainkan
dicarinya di dalam penciptaan alam yang luas ini. Jangkauan
persepsi kita terbatas sekali. Perbatasan alam dalam arti
ruang dan waktu, tak dapat kita tangkap. Sungguhpun demikian
ketentuan-ketentuan itu berjalan menurut hukum yang tidak
berubah-ubah dan tidak pula bertukar-tukar. Melalui
undang-undang Tuhan yang ada dalam alam itu ia akan
terbimbing sampai kepada Penciptanya.

Buat dua macam golongan ini sama saja: baik dengan mujizat
atau tidak. Bahkan keduanya tak pernah memikirkan tentang
mujizat-mujizat itu selain daripada, bahwa itu adalah bukti
karunia Tuhan. Iman yang semacam inilah yang menurut
pendapat bilangan besar pemuka-pemuka Muslimin sebagai
bentuk iman yang tertinggi. Yang sebagian lagi berpendapat,
bahwa sumber iman yang sejati seharusnya jangan karena takut
kepada siksa Allah atau karena mengharapkan pahalaNya,
melainkan harus iman itu semata-mata karena Allah serta fana
total ke dalam Ego Tuhan. KepadaNyalah semua persoalan itu
akan kembali. Kita adalah kepunyaan Allah dan kepadaNya pula
kita kembali.

ORANG-ORANG MUKMIN PADA MASA NABI

Orang-orang sekarang yang sudah beriman, mereka beriman
kepada Allah dan Rasul tanpa didorong oleh adanya
mujizat-mujizat, sama halnya seperti mereka yang beriman
kepada Allah dan Rasul itu pada masa hidup Nabi. Sejarah
tidak menyebutkan, bahwa mujizat-mujizat itu pernah membuat
orang jadi beriman Malah bukti mujizat Tuhan terbesar ialah
wahyu yang diturunkan melalui NabiNya, dan peri hidup Nabi
sendiri dengan akhlaknya yang begitu tinggi, itulah yang
mengajak orang jadi beriman. Semua buku sejarah hidupnya
menyebutkan bahwa ada segolongan orang yang sudah beriman
kepada kerasulan Muhammad sebelum Isra, telah jadi murtad
dari imannya tatkala Nabi menyebutkan, bahwa Tuhan telah
memperjalankannya pada malam haji dari Mesjid Suci ke Mesjid
Aqsha. Tatkala mengejar Muhammad yang sedang hijrah ke
Medinah, dengan maksud supaya membawanya kembali ke Mekah,
hidup atau mati, dengan harapan akan mendapat hadiah uang,
Suraqa b. Ju'syum tidak juga beriman meskipun buku-buku
riwayat hidup Nabi menceritakan adanya mujizat Tuhan
sehubungan dengan peristiwa Suraqa dan kudanya itu. Juga
sejarah tidak pernah menyebutkan bahwa ada orang musyrik
yang beriman kepada kerasulan Muhammad hanya karena salah
satu mujizat, seperti tukang-tukang sihir Firaun yang
beriman setelah melihat tongkat Musa menelan semua yang
telah mereka buat itu.

GHARANIQ DAN TABUK

Lalu apa yang terdapat dalam buku riwayat hidup Nabi dan
hadis tentang mujizat itu kadang berbeda-beda pula.
Sekalipun menurut buku-buku hadis sudah dipastikan benar
tapi kadang masih merupakan sasaran kritik juga. Masalah
gharaniq misalnya, dalam pengantar ini ada juga kita
sebutkan sepintas lalu, dan akan kita sebutkan lagi lebih
terperinci dalam teks nanti. Cerita membelah dada juga sudah
berbeda-beda sebagaimana diceritakan oleh Halima inang
pengasuh Nabi kepada ibunya; begitu juga mengenai waktu
terjadinya sehubungan dengan usia Muhammad.

Apa yang diceritakan oleh buku-buku riwayat hidupnya dan
buku-buku hadis tentang cerita Zaid dan Zainab sudah dapat
ditolak dari dasarnya, dengan alasan-alasan yang kita
kemukakan ketika membicarakan peristiwa tersebut dalam buku
ini juga terdapat perbedaan-perbedaan mengenai beberapa
kejadian selama perjalanan pasukan 'Usra (yang mengalami
kesukaran) itu ke Tabuk. Dalam Shahih Muslim melalui Mu'adh
b. Jabal diceritakan, bahwa Nabi berkata kepada mereka yang
pergi bersama-sama ke Tabuk itu: "Besok kamu akan sampai ke
mata air Tabuk, dan kamu baru akan sampai ke sana sesudah
siang hari. Barangsiapa di antara kamu sampai ke tempat itu
jangan ada yang menjamah air itu samasekali sebelum aku
sampai." Kamipun lalu sampai tapi sudah ada dua orang yang
sudah sampai terlebih dulu ke tempat tersebut. Mata air itu
memercik seperti tali. Katanya: Lalu Rasulullah s.a.w.
bertanya kepada dua orang itu: Adakah air itu kamu jamah?
Jawab mereka: Ya. Lalu Nabi s.a.w. memakinya dan
dikata-katakannya mereka itu. Katanya: Lalu mereka menciduk
mata air itu dengan tangan mereka sedikit-sedikit sampai
dapat ditampung dalam sebuah tempat. Katanya: Rasulullah
s.a.w. lalu mencuci kedua tamgan dan mukanya dengan itu.
Kemudian dikembalikan lagi ke tempatnya. Maka mata air
itupun lalu memercikkan air berlimpah-limpah - atau katanya
deras - Abu Ali sangsi yang mana yang dikatakan - sehingga
orang-orangpun mendapatkan air itu. Kemudian katanya:
Mu'adh, kalau kau masih akan pamjang umur kau akan melihat
di sini penuh dengan kebun-kebun" (Shahih Muslim, jilid 7,
p. 60, cetakan Astana, 1382H).

Sedang buku-buku sejarah hidup Nabi menceritakan kisah Tabuk
itu lain lagi gambarannya. Dalam cerita itu soal mujizat
tidak disebut-sebut. Tapi ceritanya berjalan lain sekali,
tidak sama dengan yang terdapat dalam Shahih Muslim. Di
antaranya seperti yang diceritakan oleh Ibn Hisyam dengan
menyebutkan:

"Ibn Ishaq mengatakan: Sesudah tiba waktu pagi dan air tidak
ada, mereka mengadukan hal itu kepada Rasulullah s.a.w. Lalu
Rasulullah s.a.w. berdoa. Maka Allah mengirimkan awan dan
hujanpun turun. Orang-orang dapat minum dan dapat membawa
air menurut keperluan mereka. Ibn Ishaq mengatakan: Maka
'Ashim b. 'Umar b. Qatada menceritakan kepada saya, lewat
Mahmud b. Labid melalui orang-orang dari Banu Abd'l Asyhal,
mengatakan, kataku kepada Mahmud: Adakah diantara
orang-orang itu yang sudah dapat membeda-bedakan saudara,
bapa, paman dan keluarganya. Lalu kata Mahmud lagi: Beberapa
orang dari golongan saya mengatakan tentang adanya orang
munafik yang sudah dikenal kemunafikannya. Ia selalu pergi
bersama Rasulullah s.a.w. ke mana saja. Demikian juga
mengenai soal air di Hijr dan mengenai Rasulullah s.a.w.
yang berdoa, sehingga Allah mengirimkan awan, dan turunnya
air hujan. Orang-orang dapat minum. Kata mereka kami
mendatanginya seraya mengatakan: Apalagi sesudah itu!?
Katanya: Awan lalu."

METODA SAYA DALAM PENYELIDIKAN INI

Adanya perbedaan ini di mata ilmu pengetahuan sebenarnya
tidak mudah untuk dapat dipastikan. Orang yang mau menguji
ini jangan hanya berpegang pada pendapat yang lebih besar
dan berpengaruh saja dengan dua macam sumber yang
berlain-lainan, yang satu tak dapat menguatkan, yang lain
tak dapat pula membantah. Apabila mereka memang tak dapat
menguatkan sumber itu, paling kurang mendiamkannya. Jika
nanti ada orang lain yang menemukan bukti-bukti positif,
sudahlah; kalau tidak, dalam arti ilmiah ia tetap belum
dapat dipastikan.

Inilah metoda yang saya pakai dari semula, ketika saya
mengadakan penyelidikan mengenai peri hidup Muhammad pembawa
risalah Islam ini. Sejak terniat oleh saya akan membuat
karangan ini, memang yang saya kehendaki ialah suatu studi
ilmiah sesuai dengan metoda ilmu pengetahuan sekarang, demi
kebenaran semata-mata. Itu jugalah yang saya sebutkan dalam
prakata buku ini, dan yang menjadi harapan saya pada penutup
cetakan pertama buku ini. Mudah-mudahan maksud saya itu
dapat terlaksana dan usaha inipun sudah merupakan suatu
penyelidikan ilmiah demi kebenaran ilmiah semata. Saya
harapkan dengan ini bahwa saya telah merintis jalan ke arah
penyelidikan-penyelidikan dalam bidang yang sama dengan
lebih luas dan dalam, meliputi masalah-masalah psikologi dan
spiritual, yang pada dasarnya akan mengantarkan umat manusia
kepada peradaban modern yang sama-sama kita cari itu. Saya
yakin bahwa dengan mendalami penyelidikan demikian ini,
rahasia-rahasia akan banyak diketemukan orang, suatu hal
yang pada mulanya diduga tak ada jalan bagi ilmu pengetahuan
akan dapat mengungkapkannya. Tetapi kemudian ternyata,
penyelidikan-penyelidikan psikologis dalam hal ini dapat
memberikan analisa dan menjelaskan sejelas-jelasnya kepada
segenap kaum cendekiawan. Rahasia-rahasia alam semesta dalam
arti spiritual dan psikologis itu makin dikenal oleh umat
manusia, hubungannya dengan alampun akan makin erat, dan
akan bertambah pula ia merasa bahagia. Ia akan merasa makin
senang terhadap segala yang ada dalam alam ini bilamana ia
makin mengenal segala rahasia gerak dan tenaga yang tadinya
masih tersembunyi, seperti tenaga listrik dan gerakan ether,
yang kemudianpun diketahui orang pula.

Oleh karena itu, setiap orang yang mau menggarap
penyelidikan seperti ini, seharushya itu ditujukan kepada
seluruh umat manusia, bukan hanya kepada kaum Muslimin saja.
Tujuan pekerjaan inipun sebenarnya tidak bersifat agama
semata-mata - seperti mungkin ada yang menduganya demikian -
melainkan tujuan sebenarnya ialah agar umat manusia mengenal
bagaimana ia harus menempuh jalan yang akan mengantarkannya
kepada hidup yang lebih sempurna, yang oleh Muhammad sudah
ditunjukkan jalannya kepada kita. Guna memahami tujuan itu
memang tidak mudah, bila orang belum mendapatkan jalan ini
dengan hati terbuka, dengan dada yang lapang. Sumber
daripada ini semua ialah pengetahuan dan iImu yang
sebenarnya. Pemikiran yang tidak dilandasi oleh pengetahuan,
tidak didasarkan kepada metoda-metoda ilmiah, sering akan
membawa hasil yang salah dan meleset. Karena itu malah jauh
dari tujuan sebenarnya. Kodrat kita sebagai manusia akan
membuat pemikiran kita besar sekali terpengaruh oleh
temperamen (watak) kita sendiri. Sering juga mereka yang
bersamaan ilmunya berbeda-beda pula pemikirannya. Tidak lain
sebabnya ialah karena adanya perbedaan temperamen itu,
sekalipun dalam mencapai maksud dan tujuan mereka sama
jujur. Ada orang yang temperamennya tinggi, pemikirannya
tajam, cepat bereaksi. Ada pula yang punya kecenderungan
sufi, bawaannya stoik (tenang), menjauhi segala yang
bersifat kebendaan serta pengaruhnya. Ada juga yang punya
kecenderungan materialistik yang begitu besar, terpengaruh
oleh segi materialismanya saja, sehingga tak dapat lagi ia
memikirkan adanya tenaga-tenaga lain yang dapat dirasakan,
yang ada di sekitarnya, yang sebenarnya menguasai benda
(materi) itu.

Di samping itu banyak lagi yang lain. Karena temperamen
mereka yang berbeda-beda, maka berbeda pula pandangan dan
penilaian mereka terhadap sesuatu. Dalam bidang kulturil dan
kehidupan praktis, perbedaan ini merupakan suatu kenikmatan
besar bagi umat manusia, tapi dalam bidang ilmu dan
nilai-nilai hidup yang lebih tinggi, yang hendak mencari
kebaikan bagi seluruh umat manusia, hal ini merupakan suatu
bencana. Tujuan studi sejarah hendaknya mencari nilai-nilai
yang lebih tinggi dari hakekat hidup itu, dan hendaknya
dapat pula menghindari pengaruh-pengaruh emosi dan
temperamen itu. Tak ada jalan lain dalam menghindarkan diri
dari hal semacam itu kecuali bila orang benar-benar mau
disiplin terhadap metoda ilmiah, dan jangan pula ilmu dan
pembahasan ilmiah tentang sejarah atau bukan tentang sejarah
itu hanya sebagai alat guna memperkuat nafsu dan tingkah
lakunya sendiri.

PENYELIDIKAN-PENYELIDIKAN ORIENTALIS

Dari kalangan Orientalis yang dalam penyelidikan mereka
disusun dalam pola ilmiah itu, masih banyak yang terpengaruh
oleh tingkah laku dan temperamen demikian itu, juga tidak
sedikit dari kalangan penulis-penulis Muslimin sendiri yang
demikian. Dan anehnya, kedua mereka itu masing-masing
mengikuti apa yang enak saja menurut selera dan
kecenderungan mereka sendiri - dengan mengambil
peristiwa-peristiwa yang dipakainya sebagai dasar penulisan
mereka, yang katanya ilmiah, dengan maksud demi kebenaran.
Dalam pada itu ia masih terpengaruh sekali oleh temperamen
dan kecenderungan nafsunya sendiri. Sebagai bukti,
bagaimanapun mereka masing-masing berusaha secara jujur dan
teliti mau menguji satu sama lain tentang apa yang mereka
tulis, namun pasti yang terbayang depan mata mereka, ialah
peristiwa-peristiwa yang diciptakan oleh khayal mereka
sendiri juga.

Sekiranya orang mau berusaha menurut kemampuannya,
melepaskan diri dari hawa-nafsu, dan berpegang hanya pada
cara-cara ilmiah saja, tentu tulisan demikian itu akan lebih
kuat berpengaruh dalam jiwa, tidak seperti tulisan yang
dipengaruhi oleh nafsu belaka. Saya sudah mencoba seperlunya
menerangkan kesalahan-kesalahan yang mereka lakukan itu
masing-masing - dalam pengantar cetakan kedua ini -
seringkas mungkin, disesuaikan dengan tempat yang ada ini
pula. Mudah-mudahan berhasil juga kiranya saya mencari
kejujuran yang dimaksud itu.

Memang tidak mudah bagi kaum Orientalis itu dalam
menyelidiki masalah-masalah Islam demikian atau mengadakan
penelitian dengan bersikap jujur, betapapun mereka mau
berniat baik dan bersikap bebas dalam penelitian ilmiah itu.
Tidak mudah bagi mereka menguasai semua seluk-beluk bahasa
Arab sekalipun ilmu bahasa itu sudah mereka kuasai. Ditambah
lagi mereka masih terpengaruh oleh cara hidup Kristen Eropa
demikian rupa, sehingga kebanyakan mereka memandang
agama-agama itu dengan pandangan penuh prasangka pula,
sedang sebagian kecil lagi, yang masih memegang ajaran
Kristennya, terpengaruh pula oleh adanya pertentangan agama
Kristen dengan ilmu pengetahuan. Maka dalam
penyelidikan-penyelidikan mereka tentang Islam, merekapun
lalu terpengaruh seperti dalam penyelidikan-penyelidikan
mereka tentang Kristen atau tentang agama pada umumnya.
Maksud saya ialah terpengaruh oleh pertentangan yang
merusak. Bagi kaum Orientalis yang jujur ini bukan suatu hal
yang tereela. Tak ada orang yang dapat membebaskan diri dari
ketentuan-ketentuan lingkungannya sesuai dengan tempat dan
waktu.

KAUM MUSLIMIN DAN PENYELIDIKAN

Akan tetapi, penyelidikan-penyelidikan mereka dalam
masalah-masalah Islam masih diliputi oleh kabut purbasangka,
yang jauh dari kebenaran. Karena itu juga, beban yang berat
dan penting itu, hendaknya dipikulkan ke atas bahu para
cendekiawan dari kalangan dunia Islam sendiri, baik yang
aktif dalam ilmu agama atau dalam bidang ilmu lainnya, yakni
beban melakukan pembahasan-pembahasan mengenai Islam secara
teliti dan jujur, dalam lingkungan metoda yang ilmiah. Kalau
mereka melakukan itu, dengan bantuan pengetahuan mereka
mengenai seluk-beluk bahasa Arab dan kehidupan orang Arab,
maka penyelidikan mereka ini akan ada artinya sehingga akan
membuat Orientalis-orientalis itu - atau sekurang-kurangnya
sebagian dari mereka - meninjau kembali sebagian besar
pendapat mereka itu. Mereka akan dapat diyakinkan dengan
hasil yang diperoleh oleh kaum cendekiawan dunia Islam itu
dengan rasa puas dan senang hati.

Untuk mencapai hasil demikian inipun bukan soal yang mudah.
Ia memerlukan kesabaran dan kegigihan dalam penyeIidikan
itu, perlu mengadakan perbandingan dan pemikiran yang bebas.
Tapi itu bukan suatu hal yang tidak mungkin, juga bukan soal
yang terlalu sulit. Sungguhpun begitu ini adalah soal
penting sekali dan akan besar pula pengaruhnya bagi hari
kemudian Islam dan hari kemudian seluruh umat manusia.

Menurut hemat saya, melakukan pekerjaan ini sebaiknya harus
dibedakan dulu antara dua perioda yang berlain-lainan dalam
sejarah Islam: Yang pertama, dari permulaan Islam hingga
terbunuhnya Usman. Yang kedua, dari terbunuhnya Usman hingga
tertutupnya pintu ijtihad. Pada perioda pertama kaum
Muslimin masih sepenuhnya kompak, belum dirusak oleh
cerita-cerita perbedaan tentang khilafat, juga tidak oleh
perang Ridda atau oleh penaklukan kaum Muslimin atas
beberapa daerah yang sudah mereka kuasai.

Tetapi sesudah Usman terbunuh, perselisihan di kalangan kaum
Muslimin mulai berjangkit. Perang saudara antara Ali dan
Muawiya pecah dan pemberontakan-pemberontakan terus
berkecamuk, kadang terang-terangan, kadang dengan
sembunyi-sembunyi. Ambisi politik telah memegang peranan
penting dalam kehidupan agama. Guna menilai adanya
kontradiksi itu, dapatlah orang membandingkan
prinsip-prinsip yang terkandung dalam pidato Abu Bakr
sesudah pelantikannya (sebagai Khalifah) tatkala ia berkata:
"Kemudian, saudara-saudara. Saya sudah dijadikan penguasa
atas kamu sekalian, dan saya bukanlah orang yang terbaik di
antara kamu. Kalau saya berlaku tidak baik, luruskanlah
saya. Kebenaran adalah suatu kepercayaan dan dusta adalah
pengkhianatan. Orang lemah di kalangan kamu adalah kuat
sesudah haknya nanti saya berikan kepadanya insya Allah, dan
yang kuat bagi saya adalah lemah sesudah haknya itu nanti
saya ambil, insya Allah. Apabila ada golongan yang
meninggalkan perjuangan di jalan Allah, maka Allah akan
menimpakan kehinaan kepada mereka. Apabila kejahatan itu
meluas pada suatu golongan, maka Allah akan menyebarkan
bencana pada mereka. Taatilah saya selama saya taat kepada
(perintah) Allah dan RasulNya. Tapi apabila saya membangkang
terhadap (perintah) Allah dan Rasul, maka gugurlah
kesetiaanmu kepada saya. Laksanakanlah shalat kamu, Allah
akan merahmati kamu sekalian," - dengan pidato Mansur dari
Banu 'Abbas, yang sesudah ia mencapai puncak mahligainya
mengatakan: "Saudara-saudara, saya adalah penguasa kamu
dengan anugerah dan dukunganNya. Saya adalah pengawal
hartaNya. Saya melaksanakan ini atas kehendakNya dan
keinginanNya, memberikan harta atas perkenanNya. Allah telah
menjadikan saya sebagai kunci. Kalau dikehendakiNya akan
dibuka, maka dibukaNyalah saya, supaya dapat.memberikan dan
membagi-bagi rejeki kamu. Kalau Ia menghendaki menutup saya,
maka ditutupNyalah saya ..."

Biarlah orang membandingkan sendiri kedua macam pidato itu
supaya dapat melihat perubahan yang begitu besar atas
prinsip-prinsip kehidupan Islam selama masa kurang dari dua
abad, suatu perubahan yang mengalihkan cara musyawarah kaum
Muslimin, kepada kekuasaan mutlak yang diambil atas nama hak
suci itu.

Terjadinya pemberontakan-pemberontakan yang sampai membawa
akibat perubahan dasar-dasar hukum, adalah kenyataan yang
telah menyebabkan kedaulatan Islam kemudian menjadi lemah
dan mundur. Di samping berkembangnya Islam dan peradaban
Islam selama dua abad berturut-turut sesudah terbunuhnya
Usman, di samping adanya kegiatan Islam memasuki beberapa
kerajaan, menaklukkan raja-raja di bawah Mongolia dan Saljuk
- sesudah yang pertama mengalami kehancuran - maka perioda
pertama yang berakhir dengan terbunuhnya Usman, adalah
perioda yang telah membina prinsip-prinsip yang sebenarnya
dalam kehidupan Islam pada umumnya. Hanya ini yang boleh
dijadikan pegangan yang pasti dan positif akan segala yang
telah terjadi itu supaya orang mengetahui prinsip-prinsip
yang sebenarnya.

Adapun sesudah perioda itu, di samping adanya perkembangan
ilmu dan pengetahuan pada masa dinasti Umayya - lebih-lebih
pada masa dinasti 'Abbasia, tangan-tangan kotor sudah mulai
menodai prinsip-prinsip pokok yang sebenarnya itu, untuk
kemudian diganti dengan ajaran-ajaran yang sering sekali
bertentangan dengan jiwa Islam, dan kebanyakannya malah
untuk maksud-maksud politik syu'ubia [1] (rasialisma).

[1] Suatu paham politik pada masa permulaan persekemakmuran
Islam bangsa-bangsa yang menolak hak-hak istimewa
orang-orang Arab (A).

Adanya orang-orang asing, orang-orang Yahudi dan Nasrani
yang pura-pura masuk Islam, mereka itulah pula yang turut
menyebarkan cara-cara baru itu, mereka tidak ragu-ragu turut
mendorong diciptakannya hadis-hadis yang dihubung-hubungkan
kepada Nabi 'alaihissalam, atau mendakwakan sesuatu kepada
para Khalifah yang mula-mula, yang memang tidak sesuai
dengan sejarah hidup dan sifat-sifat mereka itu.

Apa yang ditulis orang mengenai perioda belakangan ini,
tidak dapat dijadikan pegangan secara ilmiah tanpa
mengadakan penelitian kembali dan kritik yang benar-benar
mendalam dengan tidak dipengaruhi oleh nafsu atau
kecenderungan-kecenderungan pribadi. Yang pertama sekali
perlu kita lakukan ialah menolak segala yang bersifat
kontradiksi dan tidak sesuai dengan Qur'an, meskipun
tumbuhnya kontradiksi itu dihubung-hubungkan kepada Nabi.
Yang boleh dipercaya dari apa yang langsung diceritakan dan
dapat juga dipakai sebagai dasar menguji yang datang
kemudian, ialah masa permulaan Islam sampai waktu
terbunuhnya Khalifah yang ketiga. Saya kira kalau semua ini
kita lakukan dengan segala ketelitian ilmiah, kita akan
dapat memberikan suatu lukisan yang sebenarnya tentang
ajaran Islam yang murni, dan dari kehidupan Islam yang
pertama pula; yakni kehidupan intelektual dan spiritual yang
begitu kuat dan luhur, sehingga membuat Arab pedalaman dari
jazirah itu dalam waktu beberapa puluh tahun saja dapat
tersebar di muka bumi ini, guna menegakkan - dalam pelbagai
negara - dasar-dasar peri kemanusiaan yang paling luhur yang
pernah dikenal sejarah. Kalau dalam hal ini kita berhasil,
kepada umat manusia tentu kita akan dapat mengungkapkan
suatu ufuk baru yang akan mengantarkan kita sampai dapat
mengetahui seluk-beluk alam dalam arti psikologis dan
spiritual, dan dengan mengetahui ini, akan makin erat pula
hubungan itu dan akan membawa kenikrnatan dan kebahagiaan
hidup bagi umat manusia. Ia akan merasa makin senang
terhadap segala yang ada dalam alam ini bilamana ia makin
mengenal segala rahasia gerak dan tenaga yang tadinya masih
tersembunyi seperti tenaga listrik dan gerakan ether, yang
kemudianpun diketahui orang pula.

Kalau dalam hal ini kita berhasil, tentu itu adalah jasa
Islam terhadap umat manusia sekarang, seperti yang juga
sudah terjadi pada permulaan sejarah Islam dahulu, tatkala
orang-orang Arab keluar dari lingkungan jazirahnya, keluar
menyebarkan prinsip-prinsip Islam yang luhur ke seluruh
dunia.

Langkah pertama yang perlu kita lakukan dalam hal ini -
dalam mengabdi kepada kebenaran dan kemanusiaan - ialah
benar-benar mendalami studi tentang sejarah hidup Nabi,
sehingga dapat membukakan jalan bagi umat manusia ke arah
peradaban yang selama ini menjadi cita-citanya. Dalam
melakukan studi ini Qur'an adalah sumber yang paling
otentik, sebagai kitab yang tidak akan membawa kepalsuan dan
tidak pula dicampur dengan segala hal yang masih meragukan.
Kitab yang selama tigabelas abad ini tetap dan akan tetap
terus demikian selama hidup manusia, sebagai suatu mujizat
sejarah dalam kemurnian teksnya, sebagaimana sudah dikuatkan
oleh firman Allah: "Kami yang telah memberikan Qur'an ini
dan Kami pula yang menjaganya" (Qur'an, 15: 9). Seperti
sejak dahulu juga, ia akan tetap sebagai mujizat Muhammad
yang hidup, sejak diwahyukan Allah kepadanya sampai
berakhirnya dunia dengan segala isinya ini. Segala yang
berhubungan dengan sejarah hidup Muhammad harus dihadapkan
kepada Qur'an, mana yang cocok itu adalah benar, dan mana
yang tidak cocok samasekali tidak benar.

Dalam studi permulaan ini, memang ke arah itu yang saya
usahakan, sekuat kemampuan saya. Sesudah selesai cetakan
pertama buku ini saya tinjau kembali, saya bersyukur kepada
Allah atas taufikNya itu. Sayapun berharap semoga Tuhan akan
memberi petunjuk dan pertolongan serta membukakan jalan bagi
barangsiapa yang akan meneruskan studi demikian ini secara
ilmiah dengan lebih mendalam lagi.

Tuhan, kepadaMu juga kami mempercayakan diri, kepadaMu juga
kami kembali dan kepadaMu juga kesudahan segala ini.