Kamis, 09 Juni 2011

Khalifah Abu Bakar as-Shiddiq

Abu Bakar lahir pada tahun 573 M di Mekkah. al-Shiddiq adalah gelar beliau, nama sesungguhnya Abdullah ibn Abi Quhâfah al-Tamîmi. Di masa jahiliyah bernama Abdul Ka’bah, lalu Nabi mengganti menjadi Abdullah. Julukannya Abu Bakar (pemagi) karena pagi-pagi atau orang yang paling awal masuk Islam. Gelarnya al-Shiddiq karena amat segera membenarkan Rasul dalam berbagai macam peristiwa, terutama peristiwa Isra’ Mi’raj.

Abu Bakar lahir dari sebuah keluarga terhormat di Mekkah, semenjak anak-anak, ia adalah sosok pribadi yang terkenal jujur, halus, penyayang, dan suka beramal, sehingga masyarakat Mekkah menaruh hormat kepadanya. Ia selalu berusaha berbuat yang terbaik untuk menolong fakir miskin.

Beliau adalah sahabat yang terpercaya dan dikagumi Nabi. Ia pemuda yang pertama menerima seruan Nabi tanpa banyak pertimbangan. Seluruh kehidupannya dicurahkan untuk membela dakwah Nabi Muhammad, sehingga ia lebih dicintai oleh Nabi daripada sahabat lainnya. Kadangkala Nabi menunjuknya sebagai imam shalat pengganti Nabi. Ketika Nabi hijrah ke Madinah ia menyertainya dan aktif dalam perjuangan selama di Madinah.

Bahkan ketika Nabi memerlukan dana pembangunan Masjid di Madinah dan untuk perlengkapan ekspedisi ke Tabuk, Abu Bakar menyumbangkan seluruh harta kekayaannya.

Dengan demikian Abu Bakar dan Nabi dalam perjuangan Islam dapat dikatakan sebagai mitra juang yang ideal. Namun demikian, Nabi tidak pernah memberi suatu wasiat mengenai siapa pengganti beliau setelah wafat.

Proses Pembentukan Khilâfah.

Wafatnya Nabi Muhammad saw. membawa masyarakat muslim yang masih bayi itu kepada suasana yang berwujud krisis konstitusional. Hal ini disebabkan karena Nabi tidak menunjuk penggantinya bahkan tidak pula membentuk suatu dewan menurut garis-garis majelis suku yang mungkin bisa melaksanakan kekuasaan hingga Nabi wafat. Karena itu, golongan Muhajirin dan Anshar bersaing, masing-masing merasa diri berhak menjadi khalifah pengganti Nabi. Fanatisme ini sempat mengancam kesatuan Islam yang baru saja terbentuk.

Masalah suksesi mengakibatkan suasana politik umat Islam menjadi tegang. Padahal semasa hidupnya Nabi Muhammad bersusah payah dan berhasil membina persaudaraan yang kokoh di antara semua pengikutnya, yaitu antara kaum Muhajirin dan Anshar. Dilambatkannya pemakaman jenazah Nabi menggambarkan betapa gawatnya krisis suksesi itu.

Pada saat itu, masyarakat Anshar menyelenggarakan musyawarah di gedung pertemuan bani Sa’idah untuk mengangkat khalifah dari kalangan mereka sendiri. Mereka semula sepakat memilih Sa’id ibn Ubaidillah. Sedang Muhajirin mendesak Abu Bakar sebagai calon mereka karena ia dipandang yang paling layak untuk menggantikan Nabi.

Selain itu, terdapat pula kelompok orang-orang yang menghendaki Ali bin Abi Thalib, karena menurut mereka Nabi telah menunjuk secara terang-terangan sebagai penggantinya, karena Ali adalah menantu dan kerabat Nabi. Namun demikian, kemungkinan terpilihnya Ali sangat tipis karena berbagai macam pertimbangan, antara lain bahwa setelah Rasulullah wafat banyak sahabat menghendaki supaya khalifah tidak diserahkan kepada Ali karena umurnya yang masih muda.

Kondisi tersebut membawa suasana politik umat Islam semakin runyam, karena masing-masing golongan merasa diri paling berhak menjadi khalifah penerus Nabi. Pada saat itu, umat nyaris di pinggir jurang perpecahan. Suasana politik semacam itu masih logis, karena masing-masing pihak punya alasan. Kaum Anshar menuntut, bahwa mereka adalah orang pertama memberi tempat dan posisi pada saat krisis yang gawat. Oleh sebab itu, seorang khalifah pengganti Nabi haruslah dipilih dari kalangan mereka. Demikian pula kaum Muhajirin menuntut bahwa Abu Bakar adalah seorang yang terbaik untuk menggantikan Nabi, sebab sebelum wafatnya Nabi sering menugaskan Abu Bakar untuk menggantikan beliau menjadi imam shalat jama’ah dan tugas-tugas tertentu. Golongan yang menghendaki agar Ali yang mengganti Nabi beralasan bahwa Ali adalah generasi muda yang pertama masuk Islam, ia adalah sepupu dan menantu Nabi.

Dalam proses selanjutnya, setelah Abu Bakar mendengar informasi bahwa golongan Anshar mengadakan musyawarah untuk mengangkat Sa’id bin Ubâdah menjadi khalifah pengganti Nabi, lalu Abu Bakar bersama Umar berangkat ke tempat tersebut. Dalam pertemuan itu, seorang dari golongan Anshar berdiri berpidato: “Kami adalah Anshârullah dan pasukan Islam, dan kalian dari kalangan Muhâjirin sekelompok kecil dari kami. Ternyata kalian mau menggabungkan kami dan mengambil hak kami serta mau memaksa kami”.

Mendengarkan perkataan itu, dengan bijaksana Abu Bakar berkata: “Sesungguhnya perjuangan kaum Anshar dalam perjuangan Islam tidak ada bandingannya. Tetapi sungguhpun demikian seluruh masyarakat Arabiyah mengetahui bahwa tidak ada penguasa Arab yang paling disegani melainkan dari kalangan Quraisy.” Lalu orang Anshar itu berkata: “Kalau begitu pilihlah seorang pemimpin dari golongan kamu, dan kami akan menetapkan pemimpin dari golongan kami sendiri.” Menanggapi usulan tersebut, Umar segera berkata tegas: “Ingatlah bahwa dua pimpinan tidak akan dapat berkuasa dalam waktu yang bersamaan. Karena itu hendaklah kamu sekalian memilih di antara Umar dan Abu Ubaidah sebagai khalifah.” Namun kedua tokoh yang diusulkan tersebut menolak sambil berkata: “Tidak! Kami tidak mempunyai kelebihan dari kamu sekalian dalam urusan ini”.

Dalam situasi musyawarah yang semakin kritis, Umar memegang tangan Abu Bakar dan mengangkatnya, seraya menyampaikan sumpah setia kepadanya dan membaiatnya sebagai khalifah. Sikap Umar tersebut diikuti oleh Abu Ubaidah dan tokoh-tokoh Anshar yang hadir dalam pertemuan tersebut. Mereka semua menyatakan kerelaanya membaiat Abu Bakar sebagai khalifah, yakni sebagai pemegang tampuk kepemimpinan umat Islam yang semula dijabat oleh Nabi. Dengan demikian, krisis kesatuan dan solidaritas Islam terselesaikan.

Akhirnya, setelah Abu Bakar resmi diangkat jadi khalifah, beliau berpidato:

“Wahai manusia, aku telah diangkat untuk mengendalikan urusanmu, padahal bukanlah aku orang yang terbaik di antaramu. Maka jika aku dapat menunaikan tugasku dengan baik, bantulah (ikutilah) aku, tetapi jika aku berbuat salah, maka luruskanlah. Orang yang kamu anggap kuat aku pandang lemah sampai aku dapat mengambil hak daripadanya. Sedang orang yang kamu pandang lemah aku pandang kuat, sampai aku dapat mengembalikan haknya kepadanya. Maka hendaklah kamu taat kepadaku selama aku taat kepada Allah dan Rasul-Nya, namun bilamana aku tidak mematuhi Allah dan Rasul-Nya, kamu tidak perlu mentaatiku”.

Pidato politik yang pertama disampaikan Abu Bakar ini mencerminkan kebijaksanaan politiknya. Pidato tersebut berisi prinsip-prinsip kekuasaan demokratis, bukan kekuasaan otoriter, seorang khalifah wajib menjalankan pemerintahan sesuai dengan Islam dan wajib mempertanggungjawabkan segala kebijaksanaannya kepada rakyat dan kepada Allah swt.

Upaya-upaya yang dilakukan Abu Bakar.

Kebijaksanaan politik Abu Bakar tercermin dalam upaya-upaya yang dilakukannya. Upaya–upaya tersebut antara lain:

Memerangi kaum Murtad .

Peristiwa kaum Murtad ini biasa dikenal dengan istilah “al-riddah”, yang berarti kemurtadan, atau beralih agama dari Islam kepada kepercayaan semula. Secara politis merupakan pembangkangan terhadap lembaga kekhalifahan. Gerakan ini muncul sebagai salah satu akibat dari kewafatan Nabi. Mereka melepaskan kesetiaan kepada khalifah, bahkan menentang agama Islam, karena mereka menganggap bahwa perjanjian yang dibuat bersama Muhammad dengan sendirinya batal disebabkan kewafatannya. Gerakan mereka itu dianggap sangat mengancam stabilitas keamanan wilayah dan kekuasaan Islam. Karena itu, khalifah dengan tegas melancarkan operasi pembersihan gerakan tersebut.

Semula hal itu dimaksudkan sebagai tekanan untuk mengajak mereka kembali kepada jalan yang benar, lalu berkembang menjadi perang merebut kemenangan. Gerakan penumpasan orang-orang murtad dan para pembangkang ternyata banyak menyita konsentrasi khalifah, baik secara moral maupun secara politis.

Stabilitas keamanan Madinah pada saat itu terganggu. Namun berkat kesucian tekad khalifah dan segenap kaum Muslimin, akhirnya hal tersebut dapat teratasi.

Gerakan penumpasan nabi-nabi palsu.

Rupanya gerakan Nabi-nabi palsu telah ada disaat Nabi masih hidup, yaitu muncul di wilayah Arab bagian selatan.

Yang pertama mengaku diri memegang peranan kenabian muncul di Yaman, yaitu Aswad al-Ansi. Kemudian menyusul Musailamah al-Kazzab yang menyatakan bahwa Nabi Muhammad telah mengangkatnya sebagai mitra di dalam kenabian. Selain itu adalah Tulaihah dan Sijjah ibn Haris, seorang wanita dari Arabiyah tengah. Semua gerakan tersebut adalah merupakan ancaman bagi umat Islam dan sekaligus bertentangan dengan keyakinan Islam bahwa tidak ada lagi Nabi sesudah Muhammad saw.

Gerakan terhadap orang-orang yang enggan membayar zakat.

Setelah Nabi wafat, banyak orang yang enggan membayar zakat, karena mereka mengira bahwa zakat adalah serupa pajak yang penyerahannya kepada perbendaharaan pusat di Madinah, sama artinya dengan penurunan kekuasaan. Suatu sikap yang tidak disukai oleh suku-suku Arab, karena bertentangan dengan karakter mereka yang independen.

Alasan lain, karena kesalahan memahami ayat QS. 9:103. Mereka menduga bahwa hanya Nabi saja yang berhak memungut zakat, karena itu kesalahan seseorang dapat dihapuskan dan dibersihkan.

Jadi gerakan ini sebenarnya bertujuan untuk mengembalikan seseorang kepada kesucian dan kebenaran. Semua gerakan tersebut di atas merupakan program utama khalifah Abu Bakar karena beliau sadari bahwa gerakan mereka itu adalah ancaman dan sekaligus merupakan hambatan terhadap eksisnya Islam di Jazirah Arab masa itu.

Upaya ekspansi wilayah

Setelah Abu Bakar mengadakan pembersihan pemberontakan dalam negeri, maka beliau mengarahkan perhatiannya kepada ekspansi ke luar sebagai lanjutan perjuangan masa Rasulullah.

Ekspansi yang dilakukan oleh khalifah Abu Bakar dimulai dengan pengiriman ekspedisi di bawah pimpinan Usamah bin Zaid ke perbatasan Suriah untuk membalas pembunuhan Zaid, ayah Usamah, dan kerugian yang diderita oleh umat Islam dalam perang Mu’tah. Pengiriman ekspedisi ini dianggap oleh khalifah suatu hal yang sangat penting artinya, namun banyak anggota majlis syura’ yang setuju untuk menunda pengiriman ekspedisi itu. Tetapi Abu Bakar dengan tegas menolak kehendak menunda pengiriman itu. Keberanian Abu Bakar untuk melanjutkan ekspedisi berhasil meyakinkan orang-orang Badui mengenai keadaan kekuatan Islam dalam negeri.

Setelah ekspansi tersebut, Abu Bakar mengirim lagi kekuatan perangnya ke luar Arabiah, yaitu Khalid bin Walid dikirim ke Iraq dan dapat menguasai al-Hirah di tahun 634 M. Ke Suriah dikirim tentara di bawah pimpinan tiga panglima, yaitu Amr bin al-Ash, Yazid bin Abi Sufyan, dan Syurahbil ibn Hasan. Untuk memperkuat tentara ini, Khalid bin Walid kemudian diperintahkan meninggalkan Iraq menuju ke Suriah.

Semua pasukan yang dikirim ke luar berhasil membawa kemenangan dengan gemilang. Keberhasilan itu tidak terlepas dari system yang digunakan khalifah. Nampaknya kekuasaan yang digunakan oleh khalifah Abu Bakar, seperti kekuasaan pada masa Rasulullah saw. bersifat sentral. Kekuasaan legislative, eksekutif dan yudikatif terpusat di tangan khalifah.

Selain menjalankan roda pemerintahan, khalifah juga melaksanakan hokum. Namun demikian, seperti juga di masa Nabi Muhammad saw. Abu Bakar selalu mengajak sahabat-sahabatnya bermusyawarah.

Suatu hal yang perlu diperhatikan terhadap keberhasilan Abu Bakar dalam memperjuangkan Islam yaitu selain tekad niat suci dan kesungguhannya, juga adalah berkat kearifan beliau dalam menangani suatu kasus.

Abu Bakar sebagai khalifah memperjuangkan Islam hanya kurang lebih dua tahun, akhirnya beliau berpulang ke rahmatullah dalam usia 63 tahun, yaitu pada hari senin 23 Agustus 634 M. Waktu yang relatif singkat ini benar-benar dimanfaatkannya secara efektif, sehingga beliau berhasil mengangkat Islam dari suasana kacau menjadi suasana damai. Dan suksesi kekhilâfahan kedua di tangan Umar bin Khattab. (dari berbagai sumber).

0 komentar: